"Dareen?" Shreya mengerutkan keningnya tak percaya melihat sosok di hadapannya. Dareen membuka helm full face-nya, lalu dia tersenyum kepada Shreya.
"Baru pulang?" tanyanya.
Shreya hanya tersenyum sembari mengedikan kedua bahunya. Seolah pertanyaan seperti itu tidak perlu dijawab. Memangnya, dia tak melihat Shreya masih mengenakan seragam dan berdiri di depan halte sekolah? Ohh lihatlah, itu hanya sebuah pertanyaan basa basi.
Dareen terkekeh melihat sikap Shreya. Memang ini baru pertemuan kedua bagi dirinya dengan Shreya, setelah sempat sebelumnya berkenalan untuk pertama kalinya di rumah sakit. Mungkin gadis itu masih merasa canggung terhadap Dareen, orang yang jelas-jelas baru dikenalnya.
"Mau saya antar pulang?" tanya Dareen yang merasa dia perlu banyak berinteraksi dengan Shreya, karena mungkin kedepannya takdir akan mempertemukan mereka kembali. Ya, mungkin, toh siapa yang tahu rencana Tuhan bukan?
"Kayaknya, kebaikan kamu udah cukup sampai nolongin mama. Setelahnya aku nggak mau banyak berhutang budi sama kamu," ucap Shreya menolak tawaran Dareen secara halus.
Dia tidak tahu harus berkata seperti apa. Bagi Shreya, Dareen sudah terlalu baik untuk seukuran orang yang baru dikenalnya.
"Hutang budi, ya? Jujur saat kamu ngomong kayak gitu, saya ngerasa rada sakit hati, sih. Karena gimana pun juga, saya bener-bener ikhlas nolongin mama kamu. Dan, saya juga nggak pernah berharap dapat imbalan sedikit pun, karena menurut saya, menolong sesama itu udah jadi kewajiban setiap manusia," kata Dareen sukses membungkam mulut Shreya.
Gadis itu terdiam. Bagaimana pun juga, apa yang dikatakan Dareen memang benar adanya. Tapi tetap saja, Shreya merasa tak enak dengan segala kebaikan yang dilakukan oleh lelaki di hadapannya ini.
"Tapi kalau memang kamu ngerasa kayak gitu, ngerasa berhutang budi sama saya. Gimana kalo sebagai balasannya kamu saya antar pulang sekarang?"
Dareen mengangkat sebelah alisnya seolah bertanya akan kesepakatan Shreya. Sedang Shreya, dia tengah bergelut dengan pikirannya sendiri. Jantungnya berdetak tak sesuai irama. Rasanya aneh, namun ketika netra matanya bersitatap dengan Darren, jantungnya semakin terasa ingin meloncat keluar dari tempatnya.
Shreya tidak punya pilihan lain. jika menolak, dia merasa tak punya malu kepada Dareen. Cowok itu sudah pernah membantunya, rasanya aneh saja jika dia menolak cowok itu.
Selain itu, dia juga tak tahu akan berbuat balas budi seperti apa kepada Dareen. Walau cowok itu berkata dia tak butuh balas budi, namun rasanya tetap beda. Ya, balas budi, anggap saja ini sebagai balas budi untuk Dareen. Tak lebih. Cowok itu juga berkata seperti itu bukan?
* * *
Shreya berdiri di ambang pintu kamar inap mamanya. Ada perasaan sedih tersendiri ketika melihat Amarta terbaring lemah di atas brankar.
Rasanya dia tidak mau kehilangan sosok mamanya, toh memang di dunia ini juga semua orang pasti merasa seperti itu. Tapi bagi Shreya berbeda, selama hidupnya, dia hanya memiliki sosok mama yang selalu siap siaga di sampingnya. Tak terbayang jadinya jika sosok itu menghilang untuk selamanya.
Shreya menghampiri Amarta. Dia mengusap lembut surai hitam wanita di hadapannya. Hingga, setetes air mata jatuh dari mata Shreya. Tanpa gadis itu sadari, semesta mulai membuat hidupnya hancur secara perlahan, dengan mengambil satu persatu orang-orang terdekatnya.
Dilihatnya wajah Amarta yang nampak lebih tirus, bibinya pucat tak tersapu polesan make up, sedang matanya tertutup rapat seperti tertidur dalam kedamaian.
Hati Shreya resah, kakinya bergetar hebat memikirkan segala hal yang mungkin saja terjadi, cepat atau lambat di masa depan. Dia belum siap untuk menerima kenyataan. Tuhan, tolong, hidupku sudah rapuh, jangan sampai Engkau buat lebih rapuh lagi.
Shreya menggenggam tangan mamanya yang tertancap selang infus. Perlahan, ia mengelus tangan dingin itu. Tangan ini, tangan yang selalu mengelusnya sejak dia masih berada dalam kandungan. Tangan yang selalu merawatnya sejak dia dilahirkan hingga sekarang.
Tangan ini, tangan yang selalu membantunya untuk bangkit saat dalam keadaan terburuk dalam hidupnya. Shreya rindu, rindu tidur dalam dekap hangat mamanya. Rindu tangan mamanya yang selalu mengelus rambut panjangnya.
Tapi kini, mamanya terbaring lemah, dia sedang berjuang dengan segala rasa sakit dalam tubuhnya.
"Ma, Mama mau sampai kapan sembunyiin semua ini dari Reya?" Shreya bergumam. Gadis itu menyandarkan kepalanya di samping Amarta, hingga perlahan, dia mulai masuk ke alam mimpi dan terlelap dengan segala resah dalam hatinya.
* * *
Tepat pukul 5 sore, Javiar baru saja menginjakkan kakinya di area sekolah. Dia bersama timnya baru saja memenangkan juara 1 turnamen futsal mewakili Starlight High School.
Lelaki itu melangkahkan kakinya menuju parkiran. Motornya memang terparkir di sana, tadi dia berangkat bersama-sama menggunakan mobil yang disediakan sekolah.
"Maaf, nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi."
Jav berdecak kesal kala nomor Shreya tidak bisa dihubungi. Entah ke mana perginya gadis itu, padahal dia berniat untuk memberitahu kemenangannya.
"Kenapa lo?" Ander, salah satu sahabat Jav yang ikut turnamen bersama, datang menghampiri. Lelaki itu menemui Jav setelah melihat raut suram di wajahnya.
Javiar tidak menjawab pertanyaan Ander. Lelaki itu sibuk mengetikkan pesan untuk Shreya.
Ander yang merasa dicuekkan pun berdecak kesal. Dia duduk di atas motornya yang memang parkir bersebelahan dengan motor Jav.
Sekolah sudah sepi, hanya ada beberapa siswa yang mungkin sedang mengikuti ekstrakulikuler.
"Gue punya tetangga, nih, orangnya jutek, irit ngomong, kalau ditanya dia nggak pernah jawab, gue kira dia sariawan atau orangnya bau mulut-"
"Apaan sih lo?" Jav berujar sinis. Dia memotong perkataan Ander dengan tatapan tajamnya.
Di perlakukan seperti itu, Ander terkekeh pelan. Rupanya Javiar sedang ada dalam mode iblisnya.
"PMS lo? Marah-marah mulu. Kenapa, sih?" Ander berusaha sabar. Lelaki itu lantas menggerakkan kepalanya untuk mengintip layar handphone yang dipegang Javiar.
"Oh ... Reya." Ander mengangguk-anggukkan kepalanya, setelah paham hal apa yang membuat Javiar uring-uringan seperti sekarang.
"Lo cinta sama Shreya?" Pertanyaan random Ander membuat Jav mengalihkan atensinya dari ponsel.
"Apa, sih?" Javiar sinis. Membuat senyum tidak simetris di wajah Ander terlihat.
"Hati-hati aja, Bro. nggak ada persahabatan yang real antara cewek sama cowok. Percaya sama gue, salah satunya pasti ada yang nyimpan perasaan lebih. Ya, lo tinggal nunggu sadar aja sama perasaan lo sendiri," ucap Ander menepuk pundak Javiar.
Javiar menepis tangan Ander yang bertengger di bahunya, "Jadi maksud lo, gue sama Shreya ada something gitu?"
Ander mengangkat kedua bahunya. "Lo tanya aja sama diri lo sendiri."
"Ck, gue nggak akan pernah cinta sama Shreya. Dia temen gue dari kecil, nggak mungkin aja rasanya," ujar Jav yakin.
Ander menghembuskan napasnya kasar. "Ya, lo tinggal sadar aja sama perasaan lo sendiri. Hati-hati nanti kemakan omongan sendiri."
- Bersambung -
Terima kasih sudah berkenan membaca.
Jangan lupa beri vote dan komentar, karena itu sangat berarti untuk aku 🤗More info, follow
Instagram & TikTok @deardess806
KAMU SEDANG MEMBACA
SHREYA [SELESAI]
Roman pour AdolescentsShreya tidak menyangka akan disukai oleh Javiar, sahabatnya sejak kecil. Lantas, ketika pernyataan rasa itu terucap, haruskah Shreya menerimanya? Di saat Shreya tidak yakin waktu hidupnya di dunia akan bertahan lama. Copyright ©deardess 2020