15. Pengakuan

594 78 39
                                        

Hari ini, guru yang kebagian mengajar di kelas Javiar mendadak berhalangan hadir. Beliau hanya memberi tugas berupa beberapa latihan soal.

Semua siswa kompak berdiam diri di dalam kelas, termasuk Ander, Panji, dan Javiar. Ketiga lelaki itu kini sedang berkumpul di satu meja

"Lo kenapa, deh? Ngelamun mulu dari tadi." Jav bertanya ketika melihat Panji hanya diam membisu.

"Ditagih utang sama Mbak Iis kali." Ander menimpali.

Mbak Iis adalah pedagang cireng di kantin, biasanya Panji memang suka ngebon atau nggak, makan lima tapi bayar tiga.

Javiar tertawa. "Kali ini Mbak Iis minta bayar pakai apa? Jagain anaknya lagi?"

Mengingat dulu, Panji pernah disuruh untuk menjaga Lilis—anaknya Mbak Iis. Awalnya Panji bersemangat karena hanya menjaga anak saja. Lagipula, katanya anak Mbak Iis itu sudah besar, seumuran dengan Panji. Toh apa yang perlu dijaga? Orang pasti sudah mandiri.

Namun, ternyata realita tidak pernah sesuai dengan ekspektasi. Panji hampir saja pingsan ketika dia bersitatap dengan anak Mbak Iis. Tubuhnya berbadan gempal, dengan kacamata bertengger di hidung, dan rambut yang dikepang dua, juga jangan lupakan botol minum khas anak kecil yang menggantung di lehernya.

Hanya membayangkannya saja sudah bisa membuat Panji merinding. Sungguh, seharian itu dia sangat tersiksa, karena Lilis terus saja bergelayut manja di lengannya. Pantas saja Mbak Iis menitipkan anaknya, ternyata modelan nya seperti ini.

Mengingat kembali semua momen itu, Javiar dan Ander kompak tertawa lepas. Menertawakan Panji yang justru tengah menatap keduanya sini.

"Diem lo!" katanya, menyorot Jav dan Ander tajam.

"Sumpah, gue masih kebayang ekspresi lo dipeluk-peluk sama tuh cewek." Ander terbahak.

Panji yang menjadi bahan tertawaan teman-temannya mendengus kesal. Sungguh, dia tidak akan pernah lagi kasbon di warung Mbak Iis.

"Kalau lo ketemu cewek itu sekali lagi, lo jodoh pasti sama dia," ujar Jav, membuat Panji berdecak. Amit-amit, deh. Jangan sampai dia berjodoh dengan anaknya Mbak Iis.

"Anjing lo!" Panji memaki, membuat tawa Jav dan Ander kembali mengudara.

Saat sedang seperti itu, seseorang tiba-tiba datang menghampiri. Ia memanggil Jav dengan suara lembutnya, membuat tawa Jav dan Ander seketika terhenti.

"Jav," panggilnya.

Javiar menolehkan kepala. Menatap Kinan yang tengah berdiri di sampingnya dengan beberapa buku tebal dalam pelukan.

"Kenapa?" Sebelah alis Javiar terangkat ke atas.

"Mm... kamu bisa jelasin beberapa materi? Ada sebagian yang belum aku ngerti." Kinanti menatap Jav dengan sorot penuh permohonan.

"Lo emang nggak bisa minta ajarin yang lain? Banyak kali yang bisa, bukan cuma Jav doang." Bukan Javiar, itu suara Ander. Ia bahkan berani menatap Kinan dengan sorot tidak sukanya secara terang-terangan.

"Aku udah minta tolong sama yang lain, cuma mereka nyuruh aku buat minta ajarin sama Jav, karena katanya Jav paling pintar di kelas."

Ander menghela napas jengah. Dia memutuskan pandangannya dari Kinan, dan menganggap seolah keberadaan gadis itu tidak ada di dekatnya.

"Materi yang mana?" Javiar bersuara, membuat Ander menatap lelaki itu dengan tidak terima.

Ingin sekali rasanya ia memukul wajah lelaki itu. Ander merasa geram karena Jav masih saja tidak bisa mengambil sikap tegas untuk menolak Kinan.

"Banyak, kamu bisa bantu?"

Javiar tampak menimang, sebelum akhirnya ia  mengangguk pelan.  "Istirahat nanti, temuin gue di perpustakaan."

Mendengarnya, membuat mata Kinan berbinar. Ia senang karena akhirnya ada orang yang sudi menolongnya. "Makasih, Javiar."

"Hm."

Setelahnya, gadis itu berlalu, duduk di bangkunya dengan wajah berseri-seri.

"Udah berapa kali sih gue bilang? Lo itu jangan kebiasaan manjain dia, Javiar."

Javiar mengangkat kepala, menatap Ander yang tengah menatap geram kepadanya. "Gue cuman nolongin dia, apa salah?"

* * *

Shreya kembali merasakan darah segar mengucur di hidungnya saat jam pelajaran masih berlangsung. Tanpa kata, gadis itu membekap mulut dan hidungnya rapat, lalu keluar dari kelas dengan langkah terburu-buru.

"Eh, Rey, mau kemana?" Berlin bertanya, namun percuma karena Shreya baru saja berlalu dari kelas.

Sesampainya di toilet, Shreya langsung mencuci mukanya di washtafel. Darah dari hidungnya terus mengalir dengan kepala berdenyut pusing. Gadis itu mengambil tisu dari saku seragam, mengelap darahnya dan sesekali mendongakkan kepala menatap langit-langit kamar mandi.

Shreya: Berlin, kamu duluan aja ke kantin, aku di toilet, mules.

* * *

Sesuai dengan perkataan Javiar, Kinanti kini tengah berada di perpustakaan. Ruangan yang memiliki fasilitas lengkap itu hanya dikunjungi oleh beberapa orang saja saat jam istirahat. Membuat suasananya terasa nyaman untuk mengerjakan tugas, membaca, ataupun tidur karena benar-benar sepi.

"Buka bukunya. Materi mana yang nggak dipahami?" Javiar menatap Kinan yang hanya bergeming.

Gadis itu menggigit bibir. Dia memang niat belajar dengan Jav, tapi entah mengapa melihat sikap lelaki itu yang lebih dingin membuat Kinan ingin bertanya banyak hal pada Javiar.

"Tunggu apa lagi? Jam istirahat nggak banyak, Kinan."

Kinan menipiskan bibir. "Aku mau ngomong sesuatu," katanya kemudian. Gadis itu menunduk, meremas kuat rok abu-abunya.

"Bicara aja."

Kinan tampak menatap Javiar ragu. "Ini tentang hubungan kita ...."

Mendengarnya, Javiar mendongakkan kepala. Menatap Kinan dengan pandangan penuh tanya. Hubungan apa yang gadis itu maksud?

"Semenjak lo pergi saat itu, udah jelas kita nggak ada hubungan apa-apa lagi, Kinan."

Napas Kinan tertahan. Ia kembali merasakan sesak dalam hatinya. Javiar benar-benar telah berubah.

"Tapi, Javiar, perasaan aku ...."

"Kenapa?" Javiar memotong.

"Aku masih suka sama kamu." Kinan membuat pengakuan, membuat Javiar seketika membeku.

"Kita bisa mulai semuanya lagi dari awal, kan, Jav?"

- Bersambung -

Terima kasih sudah berkenan membaca.
Jangan lupa beri vote dan komentar, karena itu sangat berarti untuk aku 🤗

More info, follow
Instagram & TikTok @deardess806

SHREYA [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang