Bagi Renza, dimarahi atas perbuatan yang tidak ia lakukan adalah hal yang biasa. Sejak kecil orang tuanya memang seperti ini, marah kepada Renza dahulu baru kemudian mengetahui kebenarannya. Meskipun sudah biasa terjadi, apa itu membuat hati Renza tidak sakit jika diperlakukan seperti ini terus?
Terkadang Renza ingin menyangkal, Renza ingin berteriak bahwa itu bukan salahnya. Tapi, kemarahan ayah dan mama yang lebih besar membuat Renza diam. Dia selalu diam dalam keadaan apapun.
Karena Renza hanya bisa diam.
"Sakit, Yah. Ampun..." Anak itu seketika terhuyung karena tak mampu menjaga keseimbangan saat gesper Dion berhasil memecut kakinya dengan sempurna.
"Kamu jujur sekarang! Kamu sudah berapa kali ambil uang Saya?" Wajah Dion memerah. Emosinya benar-benar sudah memuncak.
"Ren-za tidak bohong, Yah... Renza tidak mengangambil uang Ayah, sepeserpun tidak pernah." Renza menahan tangisnya, menahan rintihannya.
"Terus kamu bisa beli alat-alat untuk melukis itu dari mana? Cuma kebetulan dengan hilangnya uang Saya, iya?!" Nada suara Dion meninggi membuat Renza semakin takut untuk berbicara.
"Ampun, Yah. Renza minta maaf, tapi bukan Renza yang mencuri. Ren- Arghh sakit, Yah..." Bocah itu meringis kesakitan saat gesper Dion mencambuk dua kali ke punggungnya.
Kejadian itu disaksikan jelas oleh Riana dan Juan. Namun mereka hanya diam, tak membelanya atau minimal menghentikan perbuatan Dion yang menyakitinya. Riana menatap tak acuh pada Renza, sedangkan Juan kini beralih bermain game di ponsel.
Kemarahan Dion juga tak kunjung mereda. Ia menarik tangan Renza, memaksanya berdiri. Anak itu tertatih sambil memegangi lengannya yang dicengkeram kuat oleh sang ayah.
"CENGENG! Jangan nangis, ikut saya!" Bentak Dion.
Renza meraih crutch-nya cepat dan mengikuti kemana sang ayah pergi. Ia dibawa ke halaman belakang. Dion menarik sebuah selang dan menyalakan air keran.
"KEMARI!" Teriak Dion, Renza mematung.
Pria itu menghampirinya lalu menarik lengan dan menghempaskan tubuh Renza di rumput begitu saja.
"Ampun, Yah. Renza tidak-" Anak itu tersentak, ucapannya terpotong.
"DIAM! SAYA NGGAK MAU DENGER KAMU NGOMONG LAGI!" Dion menyiram tubuh ringkih putranya itu dengan air dari selang.
Di hari yang mulai gelap, di rumahnya sendiri, Renza kesakitan dan tak ada seorang pun yang bisa menolongnya. Tubuhnya sudah basah kuyup oleh air keran dan air mata yang bercampur menjadi satu.
Perihnya bekas cambukkan ayah semakin terasa saat air yang begitu dingin itu mengalir di tubuhnya. Hampir sepuluh menit ayah menyiram tubuh Renza dengan air. Hingga tubuh anak itu menggigil pun ayahnya tak peduli. Renza menangis tanpa suara, menahan perih luka di tubuh dan hatinya.
Lagi, Renza hanya bisa diam.
Setelah puas dengan perbuatannya pada Renza, Dion masuk ke dalam rumah begitu saja. Anak itu masih belum berpindah dari tempatnya. Jangankan berpindah, bergerak saja tidak.
"Bukan Renza, Yah..." Bibir pucat itu bergumam.
Tak lama kemudian Bi Jum datang dengan wajah yang sangat khawatir. Perempuan itu menyelimutkan handuk ke tubuh mungil seseorang yang sudah ia anggap sebagai anaknya sendiri. Ia memeluk Renza dengan begitu tulus, bahkan sampai anak itu tahu jika bibinya ini juga sedang menangis tanpa suara.
"Ayo Bibi bantu, Nak." Bi Jum mengambil tongkat Renza kemudian memapah Renza menuju kamar.
Setelah berganti baju Renza berbaring di tempat tidur. Bi Jum masuk membawa segelas susu cokelat hangat dan kotak P3K. Perempuan itu duduk di samping Renza dan membantunya untuk minum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Renza [TERBIT]
FanfictionMohon untuk tetap meninggalkan VOTE + KOMENTAR meski cerita sudah end. - DEAR RENZA - Hidup tidak berjalan menurut apa yang kita mau. Kadang, yang ingin sekali kita hindari justru terjadi. Biarpun begitu, kita sebagai manusia hanya bisa menerima dan...