44 - END

7.3K 831 147
                                    

Langit biru begitu cerah dengan arak-arakan awan putih yang melayang seperti hiasan alam. Gemerisik angin bersahut-sahutan dengan suara daun yang saling bergesekan satu sama lain.

Seorang pria yang baru saja mendarat dari perjalanan udaranya duduk dengan tenang di dalam taksi yang akan mengantarnya ke sebuah tempat yang sudah lama tak ia kunjungi. Sesekali membalas pesan yang masuk ke ponselnya, ia berusaha menetralkan perasaannya yang tiba-tiba menegang.

Meminta supir untuk menunggu sebentar, pria itu lantas memasuki gerbang besar di depannya. Kakinya dengan pasti melangkah menuju ke sebuah makam.

Juan berjongkok lantas membersihkan rumput kecil yang tumbuh di sekitar nisan. Ia juga membersihkan dua makam di samping makam adiknya. Setelah itu Juan menaburkan bunga ke ketiga makam dan lanjut merapalkan doa.

"Apa kabar, Ren?"

"Sorry, ya gue baru ke sini lagi sekarang. Udah tiga tahun aja kita nggak ketemu."

"Lo udah maafin gue kan? Gue harap sih gitu."

"Oiya, gue udah turutin permintaan Lo. Gue udah berobat dan minggu lalu dokter bilang gue udah sembuh."

"Habis ini gue bakal menetap lagi di Indo. Gue bakal sering-sering lagi ke sini buat nemuin Lo, Om Reza, juga Bunda Airin."

Dua bulan setelah kepergian Renza, Juan memutuskan untuk berobat di Singapura. Ia sekaligus mencari beasiswa di sana. Beruntung, salah satu universitas ternama di  sana menerima Juan karena prestasinya.

Tak mudah meninggalkan ayah dan mama dalam keadaan berduka. Tapi, ia juga harus segera memperbaiki keadaan tubuhnya. Kesehatannya sudah mendesak untuk minta di tangani sang ahli.

Setelah sembuh Juan akhirnya memutuskan kembali ke tanah air setelah dirinya di wisuda. Kini hidupnya akan ia mulai lagi dengan lebih baik. Juan sudah siap menulis kisah baru di halaman yang baru pula.

Juan melirik ke arlojinya. Ia harus cepat-cepat pergi dari sini agar ayah tidak menunggu terlalu lama di rumah.

"Gue pulang dulu ya, Ren. Ayah pasti nunggu gue di rumah. Besok gue ke sini lagi bawa bunga yang lebih banyak. Oke?"

"Om, Bunda. Juan pamit ya."

Juan lantas berdiri dan meninggalkan ketiga makam itu. Sesampainya di rumah ia lantas disambut hangat oleh Dion. Pria itu memeluk hangat putra sulungnya lantas mengantar masuk ke dalam menemui sang mama.

"Ma, Juan pulang. Mama apa kabar? Juan kangen banget sama mama." Pria itu mengusap punggung tangan sang mama yang semakin lama semakin keriput karena berat badan yang terus turun.

"Kita ke rumah sakit sekarang ya, Ma. Juan temani." Juan mendorong kursi roda sang mama menuju mobil.

Saat baru saja turun dari teras, tangan mama memukul-mukul kursi roda. Meminta Juan untuk menghentikannya. Pria itu lantas berjongkok di hadapan sang mama.

"Kenapa Ma? Mau pipis dulu?" Tanya Juan lantas dibalas gelengan cepat oleh Riana.

"Sayang, kenapa?" Tanya Dion seraya mengusap lembut pucuk rambut istrinya.

Riana menunjuk-nunjuk ke arah ayunan di halaman rumah. Ia mengucapkan sesuatu yang sebenarnya tidak bisa dimengerti oleh kedua pria di depannya. Mereka lantas menoleh ke arah pandang Riana.

"Nza..En-za..!" Riana melambai-lambaikan tangan ke arah ayunan sambil memanggil-manggil nama seseorang.

"Ada apa Ma di sana? Siapa?"

"NZA..En-Za!!" Riana berteriak, membuat Dion sedikit panik.

"Syang..Nza..Nak Ma-ma...Ngan per-gi.." Ucap Riana terbata-bata. Dion yang mulai mengerti ucapan istrinya lalu memeluk erat.

"Kamu lihat Renza ya sayang?" Tanya Dion sambil mendekap tubuh Riana. Perempuan itu masih terus memanggil nama Renza.

"Sudah sayang sudah. Renza sudah bahagia sekarang. Kamu nggak boleh gini terus." Dion mencoba menenangkan sang istri yang kini mulai menangis.

Juan menatap nanar ayunan di ujung sana. Matanya mulai basah.

"Apa Lo lagi ada di sana, Ren?" Batin Juan.

Setelah kepergian Renza, Riana menjadi lebih sering menangis. Perempuan itu juga selalu menyalahkan dirinya sendiri atas meninggalnya Renza. Riana terlalu merasa bersalah. Ia menganggap dirinya sebagai ibu yang gagal.

Riana sering tidak makan hingga kondisi kesehatannya terus menurun. Ia juga sering berhalusinasi melihat sosok Renza. Hingga suatu pagi Dion menemukan Riana jatuh pingsan di tangga.

Perempuan itu divonis mengalami sakit struk dan harus menjalani terapi setiap pekannya. Kesehatannya juga harus terus dipantau oleh dokter. Kesehariannya hanya diam di kamar atau duduk di kursi roda sambil melihat bunga-bunga yang Bi Jum rawat setiap harinya.

Ya, Bi Jum kini telah kembali. Suaminya sudah sembuh dan Dion memintanya untuk bekerja lagi. Bi Jum lah yang kini merawat dan mengurus Riana. Ia masih sama, masih Bi Jum yang baik dan tulus pada atasannya.

Setiap perbuatan pasti akan ada balasannya. Kecil ataupun besar Tuhan tak akan pernah melewatkannya.

Berbuat baiklah, maka kamu akan diperlakukan baik. Jika sudah berbuat baik, tapi yang kamu dapatkan justru sebaliknya janganlah khawatir. Nanti Tuhan yang akan membalas mu dengan kebaikan yang lebih besar. Pun sebaliknya.





~ END ~




Dengan ini, DEAR RENZA dinyatakan selesai.





Kamis, 22 September 2022
Pukul 11.40

moccamatha

Dear Renza [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang