Hari ini ada pameran di sebuah galeri dekat balai kota. Renza berniat ikut serta dalam acara tersebut untuk menunjukkan beberapa lukisan hasil kerja tangannya. Ia sudah mendaftar untuk acara ini sejak satu bulan yang lalu. Dibantu oleh Haidar, mereka memasukkan lukisan-lukisan tambahan yang akan dipajang itu ke dalam mobil. Kang Mamat juga ikut membantu Renza, bahkan sejak pagi buta.
“Udah hampir jam tujuh nih, ayok berangkat!” seru Haidar.
Tak hanya Renza, Haidar juga sangat bersemangat hari ini. Ini bukan kali pertama baginya untuk ikut acara seperti ini, tapi tetap saja ia sedikit deg-degan. Pasalnya akan ada banyak kolektor yang akan datang ke acara yang di adakan setahun sekali ini.
Sudah banyak peserta pameran yang datang dan mulai memajang karyanya sendiri-sendiri. Haidar segera membantu Renza untuk menata lukisan di tempat yang sudah disediakan. Di sini mata Renza terbuka lebar, ternyata banyak sekali lukisan maupun barang lain yang lebih bagus dari buatannya. Mereka juga terlihat seperti orang-orang yang profesional.
Satu per satu orang-orang berdatangan. Semakin siang semakin banyak yang berkunjung. Renza dan Haidar antusias dalam memamerkan lukisan-lukisan itu. Seorang pria paruh baya dengan kacamata bulat menghampiri tempat mereka. Melihat satu per satu karya Renza dengan seksama.
“Woah, ini siapa yang melukis?” Pria itu menunjuk salah satu lukisan dengan ekspresi wajah terkagum-kagum.
“Sa-ya.” Balas Renza ragu.
“Woah, luar biasa.” Pria itu menepuk-nepuk bahu Renza pelan.“Memangnya kenapa ya, Pak?" Tanya Haidar.
“Ini lukisan yang sangat indah. Lukisan dengan gaya seperti ini terakhir Saya lihat sudah tiga tahun yang lalu di Art Gallery of New South Wales, Sidney. Itu pun dilukis oleh seseorang yang sudah bergelut di dunia seni selama puluhan tahun. Tapi kamu masih muda dan ini karya yang luar biasa.” Jelas bapak itu masih dengan ekspresi yang sama.
“Berapa uang yang harus Saya keluarkan untuk membeli karya ini?” Tanyanya membuat Renza dan Haidar membelalakkan mata.
“Bapak benar-benar akan membeli lukisan Saya?” Tanya Renza ragu.
“Ya, tentu saja. Saya sudah jatuh cinta pada pandangan pertama. 300? 500? Atau 800?” Balas pria itu.
“Itu ribu atau juta, Pak? Sela Haidar dan bapak itu tertawa.
“Ya jelas juta lah. Kamu ini bercanda atau bagaimana?”
“Maaf, Pak.” Haidar menyeringai, menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Pasalnya mereka benar-benar tidak menyangka bahwa orang itu akan membeli lukisan Renza dengan harga setinggi itu. Padahal menurut Renza sendiri lukisan itu biasa saja, ukurannya juga tak besar.
Bahkan Renza melukis itu saat hatinya sedang tidak baik-baik saja. Sudah menjadi kebiasaan bagi Renza akan menulis atau pun melukis sebagai pelampiasan rasa sakit yang ia terima dari keluarga atau teman-teman yang tidak menyukainya.
“Saya bisa minta nomor rekening kamu? Saya ingin segera membawa lukisan ini ke rumah.”
Renza lantas menulis nomor rekening dan juga nomor WattsApp-nya, siapa tahu akan diperlukan lain di lain waktu. Pria itu tersenyum kemudian memberikan kartu namanya pada Renza. Sejurus kemudian ia mengetikkan sesuatu di ponsel pintarnya.
“Sudah saya kirim. Kamu bisa cek.”
Renza membuka ponsel dan terdapat notifikasi ada transaksi masuk sebesar 850 juta di rekeningnya.“Terimakasih banyak, Pak. Saya sangat senang lukisan Saya dibeli oleh Bapak.”
“Saya juga senang. Kalau begitu orang suruhan Saya yang nanti akan mengambil lukisan ini. Saya permisi.” Final pria tersebut.
Haidar menolak saat Renza berusaha memberi sebagian uang dari lukisan yang terjual itu. Dia juga tidak tahu akan ia apakan uang sebanyak itu. Untuk saat ini ia akan menyimpannya saja di rekening, Tak akan ia gunakan jika tidak terdesak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Renza [TERBIT]
FanficMohon untuk tetap meninggalkan VOTE + KOMENTAR meski cerita sudah end. - DEAR RENZA - Hidup tidak berjalan menurut apa yang kita mau. Kadang, yang ingin sekali kita hindari justru terjadi. Biarpun begitu, kita sebagai manusia hanya bisa menerima dan...