42 - Perpisahan

7.1K 860 53
                                    

Malam ini begitu sunyi seperti malam-malam sebelumnya. Bedanya adalah malam ini ada rasa yang begitu menyesakkan.

Juan baru saja ke luar dari kamar Riana membawa sepiring nasi yang tak berkurang sama sekali. Pria itu meletakkan lagi di meja makan. Ia berjalan menuju lemari pendingin untuk mengambil segelas air dingin. Saat menutup pintunya, Juan memandang ke arah wastafel.

Jam segini biasanya ia selalu melihat Renza mencuci piring di sana. Sekarang tidak lagi, tak ada yang sibuk dengan segala perkakas makan di malam yang melelahkan. Juan menghela napas, mencoba menetralisir rasa nyeri di hatinya.

Ia berjalan menaiki tangga, matanya melirik ke arah kamar Renza. Satu menit, dua menit berpikir ia akhirnya memberanikan diri untuk melangkah ke sana.

Tangannya perlahan memegang gagang pintu. Dengan hati yang berdebar kakinya melangkah masuk. Aroma vanila, itulah yang Juan cium pertama kali saat memasuki kamar adiknya. Sudah lama sekali ia tak masuk ke kamar tak berpenghuni ini.

Pria yang masih dengan pakaian hitamnya mendekati meja belajar di sudut kamar. Buku dan segala macam alat tulis masih tersimpan rapih di tempatnya. Juan lantas duduk di kursi dengan kaki beroda itu.

Matanya menelisik ke setiap jengkal styrofoam warna-warni dengan berbagai macam kalimat yang ditulis di sticky note. Ada berbagai tulisan, mulai dari quotes, daily list, beberapa target jangka pendek, bahkan menu-menu untuk sarapan setiap harinya.

Juan memejamkan matanya sesaat setelah melihat sebuah foto yang di tempel dan di hias dengan indah. Foto dua balita laki-laki yang tengah duduk di tepi pantai sambil tertawa karena ombak kecil menyentuhnya. Ia terisak, karena Renza begitu sayang padanya.

Pria itu berdiri lantas memandangi tempat tidur adiknya. Ia raba selimut tebal itu, dingin. Juan lantas berdiri, berniat meninggalkan kamar. Namun saat hendak melangkah, matanya menangkap sosok Renza yang tengah duduk di kursi belajarnya. Adiknya terlihat begitu tenang, senyumnya juga mengembang. Juan mengerjapkan mata beberapa kali hingga akhirnya sosok itu pergi.

Jantungnya berpacu cepat, apa yang baru saja ia lihat?

Setelah memastikan bahwa tidak ada siapapun selain dirinya, Juan lantas ke luar dan menutup rapat pintu kamar Renza. Ia kembali ke kamar dan mengistirahatkan tubuhnya.

Malam semakin larut, Riana sudah tidur sepuluh menit yang lalu karena kelelahan. Dion masih belum bisa tidur, pria itu hanya duduk di sofa seraya memandangi wajah istrinya yang bengkak karena terlalu banyak menangis.

Merasa butuh udara segar, Dion lantas menuju teras. Ia duduk sebentar di sana, tapi kembali berdiri karena lupa belum memasukkan mobil ke garasi.

Setelah menutup pintu garasi, mata Dion seperti melihat seseorang berjalan menuju halaman belakang rumah. Waspada jika itu making, Dion mengendap-endap mengikuti ke mana perginya orang itu.

Sial, Dion kehilangan jejak. Orang itu tak ia temukan. Kemana perginya?

Saat hendak berbalik Dion mendengar suara air. Pria itu lantas berjalan menuju sumber suara. Keran dengan selang air itu menyala. Saat hendak mematikan keran, matanya menangkap sosok Renza yang sedang duduk di bangku.

Anak itu tersenyum pada Dion. Wajahnya juga tak sepucat sebelumnya. Itu benar-benar Renza.

Mata Dion memanas menjatuhkan selang air yang sebelumnya ia pegang. Ia berjalan mendekati sang anak, tapi semakin didekati Renza justru memudar menjadi bayangan.

Pria itu berjalan cepat seolah ingin merengkuh tubuh anaknya, tapi saat hampir tersentuh bayangan Renza menghilang. Dion terjatuh di rumput yang basah karena hujan tadi sore.

Dear Renza [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang