Malam ini angin berembus dengan dinginnya. Bulan juga enggan menunjukkan eksistensinya. Pria dengan kaos putih tipis dan celana panjang krem duduk di kursi taman dengan kepala tertunduk.
Kakinya yang sejak satu jam yang lalu diajak jalan menghentikannya di tempat ini. Tempat yang semakin malam semakin sunyi dan tak ada satupun orang menyinggahi. Sangat bertolak belakang dengan suasana di pagi hari yang semakin siang akan semakin banyak orang yang melewati.
Di tangannya ada sebatang rokok lucky strike yang sudah ia hisap setengah. Di sampingnya juga terdapat sekaleng minuman dengan kadar alkohol cukup tinggi.
Siang tadi dokter memintanya untuk datang ke rumah sakit. Kondisi dan segala kemungkinan yang akan terjadi pada tubuhnya disampaikan dengan jelas oleh pria berjas putih itu. Juan tahu betul semua akan semakin memburuk.
Ia takut, tapi tak ingin memberitahu siapapun.
Ia khawatir, tapi tak ingin membuat orang lebih khawatir.
Ditambah lagi Dion sedang dalam keadaan yang buruk. Perusahaannya mengalami penipuan oleh seorang pembisnis asing. Hal itu bisa terjadi karena ada orang dalam yang tidak suka dengan Dion lantas ingin menjatuhkan karirnya.
Pun dengan Riana, semenjak perempuan itu menerima tawaran untuk syuting di salah satu stasiun televisi dirinya semakin jarang pulang. Ia bisa pulang seminggu sekali, paling cepat lima hari sekali.
Juan merasa sangat kesepian di rumah, terlebih dengan kesehatannya yang semakin menurun. Biasanya ia bisa melihat Renza mondar mandir membereskan rumah, tapi kini tidak bisa lagi.
Kegiatannya di club basket juga terkendala, bahkan ia baru saja mendapat kabar bahwa ia harus digantikan pemain lain untuk posisi kapten. Ia bahkan tidak mendapatkan posisi cadangan sama sekali. Pihak timnas tidak ingin kondisinya down tiba-tiba seperti pertandingan sebelumnya.
Semuanya berantakan. Juan benar-benar bingung harus melakukan apa. Beberapa hari ini dia juga hanya menghabiskan malam di sini, dengan kegiatan yang sama. Merusak lambung agar lebih parah.
Di tengah kesedihannya, seseorang tiba-tiba memanggil namanya. Juan praktis mendongak. Dia meraih kaleng di samping tubuh Juan dan membuangnya begitu saja membuat empunya mengeraskan rahang.
Pria jangkung itu lantas berdiri menarik kerah baju adiknya. Matanya menatap nyalang manik yang terlihat sendu.
"MAU LO APA?!"
"Jangan memperburuk keadaan. Ayo sembuh. Kakak harus berobat."
"JANGAN URUSIN HIDUP GUE! NGERTI?!"
"Maaf Kak, tapi Renza nggak bisa. Kali ini Kakak harus denger omongan Renza. Tolong Kak."
"SSSTTT. STOP! JAUH-JAUH DARI HIDUP GUE! GARA-GARA LO, SEMUANYA KACAU. PERUSAHAAN AYAH HAMPIR BANGKRUT KARENA RUMOR LO, AYAH MARAH DAN BERIMBAS KE GUE!"
"Maaf Kak, tapi itu semua di luar kendali Renza. Tapi Kak, Renza bisa bisa bantu Kakak untuk berobat kalau Kak Juan nggak mau ngerepotin ayah sama mama. Renza punya tabungan, bisa Kak Juan pake."
"GUE NGGAK BUTUH APA PUN DARI LO RENZA! STOP URUSIN HIDUP GUE DAN PERGI JAUH DARI PANDANGAN GUE!"
Juan melepas kasar cengkraman di leher Renza, membuat adiknya hampir terhempas ke tanah. Pria itu lantas berjalan meninggalkan taman.
Renza berbalik, mengejar sang kakak yang semakin menjauh. Ia khawatir Juan akan melakukan hal yang lebih berbahaya.
Dengan susah payah ia mengejar langkah lebar Juan. Beberapa kali ia meneriaki namanya namun pria itu tak mendengarkannya sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Renza [TERBIT]
FanfictionMohon untuk tetap meninggalkan VOTE + KOMENTAR meski cerita sudah end. - DEAR RENZA - Hidup tidak berjalan menurut apa yang kita mau. Kadang, yang ingin sekali kita hindari justru terjadi. Biarpun begitu, kita sebagai manusia hanya bisa menerima dan...