40. Ternyata bukan untukku

1.1K 111 0
                                    

Bantu promosikan cerita saya juga di sosmed kalian ya ☺️
SELAMAT MEMBACA ❤️

Bumi, 4 September 2022. 10.45

♡•♡•♡

"El, ini Iris bawain nasi goreng," Iris tersenyum lebar sambil menyerahkan sebuah kotak makan pelanginya kepada Rain.

Mereka sekarang berada di kantin, sebenarnya Iris sudah ingin menghampiri Rain sebelum bel jam pertama berbunyi, namun apalah daya saking rajinnya Pak Bon beliau sudah masuk dulu ke dalam kelas.

Rain menatap kotak makan itu seperti tak minat, "Nggak usah Ris, makasih. Aku udah makan tadi."

"Tap-"

"Buat kamu aja," potong Rain cepat. Ia bangkit dari duduknya, mengacak rambut Iris sebentar lalu pergi begitu saja.

Iris hanya mematung di tempatnya, tak percaya dengan respon Rain yang tak seperti biasanya. Makanan favorit Rain adalah nasi goreng buatan Iris, namun sekarang ia seperti tak minat lagi. Apa dia marah? Harusnya Iris kan yang marah, selain jarang bertemu, Rain juga jarang menghubunginya akhir-akhir ini, membuat hubungan keduanya semakin renggang.

"Ngga, Rain kenapa? Lagi ada masalah?" Tanya Iris pada Rangga yang baru saja lewat.

"Lah emang kenapa?" Tanya Rangga balik.

"Udah lah nggak jadi," Iris sudah dongkol, moodnya rusak karena Rain yang tiba-tiba saja menolak nasi goreng buatannya, padahal ia sudah merelakan jam tidur paginya hanya untuk membawakan bekal Rain.

Iris menghela nafasnya, lalu duduk sendiri di kursi ujung kantin. Membuka kotak makannya, lalu ia makan sendiri sambil mengelap beberapa bulir air mata yang tanpa sadar mengalir begitu saja.

Rain hanya menatapnya dari jauh, hatinya terenyuh melihat Iris yang seperti ini. Rasa bersalah semakin memaksanya untuk menjauh, ia sadar keluarganya adalah sumber luka yang selama ini Iris derita. Andai Rain bisa, Rain hanya ingin membawa perempuan itu ke titik tertinggi bahagia seperti yang ia rencanakan jauh sebelum ini. Namun kenyataannya lain, ia harus mengubur dalam-dalam daftar bahagia yang belum sempat ia realisasikan satupun.

Dia tak bisa jika harus menyakiti Iris, maka Rain hanya memilih menjauhi perempuan itu, Rain tersiksa, menyadari bahwa dirinyalah seseorang yang menarik bahagia yang semesta berikan pada Iris.

"Maaf Iris, hanya dengan ini aku bisa melindungimu dari Papa."

●▪︎●▪︎●

"Ris, lo kemana aja sih? Gue cariin dari tadi tau!" Paula datang dengan wajah tertekuk sebal.

Iris terkekeh, lalu menutup bekal makan yang sudah ia habiskan. "Gue dari tadi di sini, mata lo aja yang sliwer."

Paula menjitak kepala Iris pelan, menyalurkan semua rasa kesalnya pada perempuan cerewet itu.

"Lah, katanya tadi buat Rain, kok dimakan sendiri?" Tanya Paula yang melihat kotak makan tadi masih di genggaman Iris.

"Oh ini, gue nggak nemu El dari tadi, makanya gue makan sendiri aja," ujarnya berbohong.

"Ris, Pau!" Melody datang membawa sebuah kresek hitam.

"Nih makanan buat lo, spesial," Melody mengulas senyum tipisnya.

"Thanks Mel, tumben baik bener," ujar Iris sumringah.

"Iya lah, sebagai calon kakak ipar yang ba-"

Ctak!

"Calon kakak ipar apaan! Sama doi aja tuhannya beda," cibir Iris.

Melody mendengus kesal, kalau bukan kembaran Aksara pasti sudah ia buang ke kandang macan.

"Eh gue tadi liat si Rain sama Malika anjir," Nah topik ghibah pun dimulai.

"Dimana?" Tanya Iris santai sambil memakan salad buah yang dibawa Melody, dasar perut karet.

"Tadi di deket perpus, Malika bawain si Rain kotak makan, eh malah diterima sama Rain," ujar Melody.

Iris hanya ber oh ria saja. Jujur ada sebersit rasa cemburu yang terasa sesak di dadanya. Rain sendiri yang bilang bahwa ia akan menjauhi Malika, tapi sekarang malah hubungan Rain dan Iris yang semakin renggang.

"Biarin aja," jawab Iris berusaha santai, meskipun pada kenyataannya hatinya juga dirundung rasa ingin tahu yang besar mengenai hubungan sebenarnya antara Rain dan Malika.

●▪︎●▪︎●

Iris berjalan sendiri menyusuri koridor kelas, mumpung inti Alaskar sedang dihukum, ia lebih baik meninggalkan jam pelajaran matematika yang menurutnya hanya membuat otaknya panas.

Niatnya ingin mencari Rain, dia tak tenang sejak bertemu Rain di kantin, lelaki itu berbeda, tak ada senyum hangat yang menyapanya seperti biasa. Sesuai apa yang Rangga bilang bahwa Rain ada di perpustakaan, Iris melangkah ragu.

"Assalamu-"

Iris mematung ditempatnya tatkala melihat Malika dan Rain yang ada di pojok perpustakaan. Entah sedang apa mereka, tapi mereka terlibat perbincangan yang terlihat menyenangkan. Iris hanya tersenyum tipis, niatnya urung untuk menemui Rain guna mencari penjelasan mengenai sikap dingin yang Rain berikan padanya.

Tanpa menyadari siapa yang menatapnya dengan nanar, Rain masih sibuk membaca buku, dan bodohnya ia membiarkan Malika terus bersandar di bahunya. Iris memejamkan matanya, disaat ia benar-benar membutuhkan Rain, justru lelaki itu perlahan semakin menghilang, seperti menghindar.

"Ternyata kamu bukan buat aku ya El."

●▪︎●▪︎●

Rooftop SMABA, tempat ternyaman bagi seluruh siswa yang ingin menuntaskan segala pikiran buruknya di sini. Termasuk Iris, dia juga meminta Reynand menemaninya merenung di sini.

Reynand hanya pasrah, pada akhirnya ia ikut membolos bersama Iris. "Mau ngapain?" Tanya Reynand membuyarkan lamunan Iris sedari tadi.

"El sama Lika," jawabnya lesu.

"Kok bisa?" Pekik Reynand kaget.

Iris menghela nafasnya, "Nggak tau, Rain beda banget sikapnya sama gue, tapi malah nemplok terus sama mak lampir. Jangan bilang sama Aksa, bisa habis nanti si El ken gibeng kembaran gue."

Reynand tertawa pelan, lalu menyuruh Iris untuk duduk di samping dirinya. "Kita nggak pernah tau apa maksud dari perubahan sikap seseorang. Tapi yang pertama, kita harus introspeksi diri sendiri, lo punya masalah sebelumya sama Rain?"

Iris menggeleng, "Nggak, semenjak kalian pulang dari Bandung dan gue masuk rumah sakit, El udah nggak keliatan dari situ. Jarang ada kabar pula."

"Yaudah kalau gitu positif thingking aja, lo pernah bilang kalau si Rain punya masalah antara bokapnya dan Malika kan? Mungkin dia capek, gue yakin pasti ada campur tangan Papanya di balik sikap Rain yang kaya gitu," jelas Reynand.

Iris memonyongkan bibirnya, "tapi kan nggak gitu juga Rey, mana dia nolak nasi goreng gue lagi, tapi kata Melody malah makan bekal punya nenek gayung."

Reynand menyentil kening Iris pelan, "Jangan dinistain mulu, kasian namanya kan keledai hitam."

Iris tertawa renyah, seneng melihat si kulkas ikut mencibir Malika.

"Oh iya, cuci darah lo aman kan? Obat lo nggak di buang ke tong sampah kan?" Nah mulailah sikap posesif Reynand.

"Aman, cuma kadang gampang capek sama lemes aja. Iya bawel deh, bisa nggak sih sehari aja kalian nggak ngingetin gue tentang obat? Gue jadi ngerasa perempuan paling lemah di sini Rey," pinta Iris memohon.

"Iya dah ndoro kanjeng," sahut Reynand.

-TBC-

ETERNIDADE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang