Bantu promosikan cerita saya juga di sosmed kalian ya ☺️
SELAMAT MEMBACA ❤️
Bumi, 2 September 2022. 19.09
♡•♡•♡
Perlahan Iris tersadar dari tidurnya, hal pertama yang ia lihat adalah ruangan serba putih yang akhir-akhir ini menjadi tempatnya singgah. Juga seorang lelaki yang tertidur sambil memegang erat tangannya yang tersemat selang infus.
"Papa," panggil Iris lemah.
Mendengar panggilan dari putrinya, Aiden mengerjap beberapa kali.
"Ris, udah bangun ya. Mau apa? Mau Papa ambilin minum?" Tawar Aiden dengan muka bantalnya. Ini sudah hampir tengah malam, yang berarti Iris tidur hampir 12 jam.
Iris menggeleng pelan, dia menatap sekeliling. Ada Aksa, Deo dan Rey yang tidur di sofa tanpa selimut, mereka tampak tak nyaman.
"Maaf Pa," hanya kalimat itu yang bisa Iris ucapkan.
Aiden menghapus air mata putrinya yang mengalir begitu saja, "Gapapa sayang, Papa tau kamu cuma nggak mau Papa khawatir. Yang terpenting sekarang, Iris harus sembuh ya? Janji dulu sama Papa."
"Promise. Papa janji jangan ninggalin Iris sendiri ya Pa? Iris takut," cicitnya.
Aiden langsung merengkuh tubuh putrinya yang tertidur lemah di brankar. Hatinya selalu saja sakit, mengingatkan akan Zefa yang juga tujuh belas tahun lalu meninggal di rumah sakit. Bayangan akan masa lalu yang terus menghantui Aiden, selalu membuatnya trauma jika harus menginjakkan kakinya ke bangunan penuh bau obat itu.
Bruk!
"Bangsat, tidur aja masih kaga bisa diem," gerutu Aksa kesal. Karena Deo menendangnya hingga tersungkur di lantai.
Aiden dan Iris terkekeh melihat muka bantal Aksa yang tampak menggemaskan. Beruntungnya istri Aksa nanti, tiap bangun langsung lihat malaikat. Astaghfirullah!
"Eh Iris udah bangun," Aksa menghampiri Iris dengan mengelus pantatnya yang sakit.
"Iya, Maaf ya Aksa," ujar Iris tiba-tiba.
"Maaf untuk?" Tanya Aksa tak paham.
"Maaf udah bohong sama Aksa, Iris salah," ujarnya lemah.
Aksara mengulas senyumnya lalu duduk di samping kembaran kecilnya itu.
"Nggak Papa Ris, gue paham. Jangan nyerah ya? Masih ada kita di sini."
"Tumben akur," cibir Aiden.
Aksa mendengus kesal, saat sisi lembutnya ia tunjukkan malah ayahnya jadi heran.
"Sa, gue minta tolong jangan bilang kondisi gue sama El ya?" Pinta Iris.
"Kenapa?" Iris menggeleng pelan, "udah cukup kalian semua khawatir, udah cukup kalian yang kasihan, yang posesif sama Iris. Iris cuma mau hidup dan diperlakukan layaknya orang sehat Sa. Dan kalau nantinya El tau, dia bakal sama bawelnya kaya kalian."
"Tapi kalau dia terlambat tahunya seperti kita, Rain pasti juga khawatir kan?" Tanya Aiden lembut.
"Pokoknya cuma kalian aja yang tau, jangan El, cukup Paula, Vio dan Melody," tegas Iris sekali lagi.
●▪︎●▪︎●
Rain berjalan tertatih menuju kamarnya. Sengaja ia pulang tengah malam begini, alasannya hanyalah ia ingin menghindar dari orang tuanya beberapa waktu. Tubuhnya basah kuyup, namanya memang Rain. Tapi hujan seperti musuh baginya, setiap terkena air hujan, pasti Rain langsung demam.
Terlihat Amora tertidur di sofa, mungkin menunggu Rain pulang. Namun sepertinya Rain tidak peduli, dirinya terlalu lelah jika harus diajak bicara mengenai Papanya.
Rain berhasil masuk ke kamarnya walau dengan tubuh yang menggigil kedinginan, hal pertama yang ia lihat adalah makan malam yang sudah mulai dingin tergelatak begitu saja di atas meja belajarnya.
"Maaf Ma, tapi Rain sedang malas," monolognya memandang nanar makanan yang telah dibuat Amora untuk Rain.
Segera ia mengganti pakaiannya, sebenarnya ia enggan untuk makan, namun melihat usaha Mamanya untuk mendapatkan maaf dari Rain, Rain tetap mengusahakan untuk menghargai, walau hal sekecil apapun itu. Rain makan dengan lahapnya, ia memejamkan matanya erat, terlalu sakit jika seperti ini. Air matanya terus meluruh bersama rasa sesak yang bersarang di dadanya, percayalah menangis saat sedang makan itu rasanya sangat menyakitkan.
Selesai makan, Rain membaringkan dirinya di kasur King size yang ada di kamarnya, tubuhnya terus saja menggigil disertai flu ringan. Pasti habis ini dia akan demam.
"Ma, Rain sakit. Rain butuh Iris, Ma," racaunya dengan suara parau.
Sungguh, ia tidak bisa jauh dari Iris. Perempuan itu sudah terlanjur berada di daftar manusia yang ingin Rain bahagiakan. Dan mungkin harapan itu akan sirna, bersama dengan semesta yang akan memisahkan pelangi dari hujannya.
"Rain nggak jahat, tapi kenapa takdir Rain seburuk ini?" Terus saja dia menyalahkan takdir yang telah tergariskan untuk dirinya, tubuhnya telah terbenam sempurna di dalam selimut tebal. Kepalanya terasa berat, jika dulu ada Amora yang selalu menemani Rain ketika sedang sakit, namun kini tak ada lagi. Rain yang memilih menjauh, agar tak terlalu sakit jika harus ada kabar buruk lagi mengenai keluarganya.
"Maaf Iris, Rain harus menjauh dari kamu beberapa waktu."
●▪︎●▪︎●
Hari ini Iris sudah diperbolehkan pulang, namun Aiden meminta dirinya untuk homeschooling beberapa waktu ini, mengingat kondisi tubuhnya yang belum cukup stabil.
Walau dengan malas, Iris tetap menuruti Papanya. Sebenarnya perempuan ini selalu saja memikirkan Rain, sudah tiga hari ini tak ada kabar apapun mengenai Rain. Dia juga sudah bertanya kepada Paula mengenai Rain, namun Paula bilang dia juga tak masuk beberapa hari. Niatnya ingin mengunjungi rumah Rain, namun apa daya, beranjak dari kasur pun dirinya tak mampu.
Rencananya sehabis pulang sekolah nanti, Inti Alaskar dan Paula akan mengunjungi Iris. Karena Melody, Vio dan Paula sudah tau semuanya. Namun Iris hanya menginginkan kehadiran seorang saja, yaitu Rain.
"Pau, lo yakin El nggak ke sekolah tadi?" Tanya Iris yang tengah memakan buah yang dibawa Paula.
"Iya, gue tadi ke kelasnya Rain terus ketemu si Rangga. Katanya udah nggak keliatan tiga hari ini, gue juga udah minta nomernya Rangga, dia mau bantu cari Rain," ujar Paula menyuapi Iris.
"Ah baik banget sahabat gue ini," Iris mencubit gemas pipi Paula. Paula mendengus kesal, tapi kasian juga melihat si cerewet Iris yang terbaring lemah seperti ini.
Vio dan Melody tak bisa ikut hari ini karena ada acara OSIS mendadak, sedangkan Inti alaskar masih serius memainkan stick PSnya.
"Aksa goblok!" Umpat Deo kesal.
Plak!
"Sekali dong elah," bela Aksa.
"Udah ulang ulang!" Biru menengahi.
"Cerewet banget sih lo Ru!" Paula berkacak pinggang.
"Noh Ru, si ayang marah," goda Elang.
Tawa mereka pecah melihat muka Biru yang sudah memerah. Namanya Biru tapi mukanya merah, begitu mereka mengejeknya.
Iris menelungkupkan wajahnya di kasur, Rain, Rain dan Rain. Nama itu tak pernah hilang dari pikirannya, mana ponsel Rain juga susah dihubungi jadi kan dia overthingking.
"El, Iris kangen, El kemana? Iris sakit El, Iris butuh kamu."
-TBC-
Yuk gaiss bantu promosi🥺🦋
KAMU SEDANG MEMBACA
ETERNIDADE [END]
Novela Juvenil"Ketemu kamu adalah salah satu momen sial dalam hidup aku, El." [SEQUEL AIDEN || BISA DI BACA TERPISAH] FOLLOW SEBELUM MEMBACA! - TERBIT- -SERIES ALASKAR 2- "Ketika lo mengenal Raino Elgarra lebih dalam, gue nggak tahu seberapa besar rasa benci yan...