43. Fakta kelam

1.5K 141 0
                                    

Bantu promosikan cerita saya juga di sosmed kalian ya ☺️
SELAMAT MEMBACA ❤️

Bumi,5 September 2022.

♡•♡•♡

Hari sudah hampir malam, namun Iris masih belum berani pulang ke rumah. Reynand juga sudah mengabari Aiden bahwa Iris aman bersamanya.

Akhirnya atas bujukan Reynand, Iris baru pulang diantar oleh Reynand.

"Ingat janji lo hari ini Ris. Buang ego dan sifat kekanak-kanakan lo, ini bukan masalah sepele dan malam ini juga, gue harus denger kabar bahwa Om Aiden sudah mengetahui semuanya," tegas Reynand.

Iris mengangguk paham, dengan mata sayunya dia berjalan ragu memasuki pintu rumahnya. Tak lupa Reynand membuntuti di belakang dengan membawakan tas milik Iris.

"Assalamualaikum, Papa," Iris bersalaman lalu Aiden menbalasnya dengan pelukan singkat.

"Waalaikumsalam, kok baru pulang?" Tanya Aiden.

"Maaf Om, tadi Iris ketiduran di apartemen Darel, ada Vio juga kok, habis kerja kelompok," ujar Reynand terpaksa berbohong.

"Yaudah, terimakasih Rey sudah mengantar putri saya pulang. Yuk makan malam bareng kita," ajak Aiden.

"Saya pulang dulu Om, adik saya dirumah sendiri," tolak Reynand halus.

"Saya pamit dulu," Reynand bersalaman dengan Aiden, tapi matanya terus saja memicing ke arah Iris. Iris yang peka dengan maksud Reynand hanya menundukkan kepalanya. Siap tak siap apa yang ia takuti sehari ini akan terjadi juga nanti malam.

"M-makasih Rey," cicitnya terbata.

"Mandi dulu gih, air angetnya udah disiapin Bi Umi," ujar Aiden sembari mengacak lembut rambut putrinya.

"Iya Papa," sahutnya.

●▪︎●▪︎●

Iris meremas kuat ujung roknya, melihat ada Aksara dan Aiden yang sedang sibuk di ruang kerjanya, membuat dirinya semakin ragu. Jika ia pendam sendiri, ia tak akan bisa. Lagipun Iris juga sudah berjanji pada Reynand, daripada lelaki itu datang sendiri ke sini dengan membawa berita besar, mending Iris saja supaya resiko terkena marah Aiden akan lebih kecil.

Akhirnya ia menguatkan dirinya sendiri, ini menyangkut Mamanya dan Aiden harus segera tau itu.

Tok.. tok.. tok..

"Iris boleh masuk Pa?" Pintanya meminta izin.

"Masuk aja sayang," sahut Aiden dari dalam.

Aksara menatap kembarannya heran, Iris terlihat sangat gugup dengan tangan yang meremat sebuah kertas.

"B-boleh Iris Tanya sesuatu Pa?" Ujarnya membuka percakapan.

"Tanya aja Ris," jawab Aiden yang masih sibuk dengan berkas di depannya.

Iris menarik nafasnya dalam, takut juga akan tatapan Aksara yang mengintimidasi. "Mama dulu meninggal karena apa Pa?"

Wajah Aiden terangkat, tak biasanya Iris membicarakan mengenai Mamanya, bagi Aiden itu adalah topik pembicaraan yang sensitif.

"Kenapa lo nanyain itu?" Tanya Aksara sewot. "Yakin mau tau?" Tambahnya.

Iris mengangguk ragu, Aiden tersenyum sepintas mengingat memori antara dirinya dan Zefa. "Boleh kan pa?" Tanya Iris memastikan.

"Boleh, sini," Aiden meminta kedua anaknya untuk mendekat.

"Sebenarnya Mama kalian meninggal bukan karena melahirkan kamu dan Aksa, tapi karena kecelakaan yang menurut Papa cukup parah dan itu alasan utama Mama Zefa meninggal," terang Aiden.

Mereka masih diam menyimak, sementara Iris masih sibuk dengan pikirannya yang belum lepas dari kejadian di rumah Rain tadi.

"Dan pelaku penabrakan itu, apa sudah ketemu Pa?" Tanya Iris lagi.

"Sampai sekarang belum, dan Papa berharap agar segera menemukan pelaku itu," Aiden menatap ruang kerjanya, mengingat memori ketika Zefa selalu menemaninya begadang saat mengerjakan tugas kantor yang dirasanya cukup berat.

Aiden tersenyum getir, "Pelakunya masih hidup Pa?"

"Kenapa kamu menanyakan itu Ris? Apa kamu tau sesuatu?" Tanya Aiden yang mulai curiga pada putrinya.

Iris menggeleng kuat, tak bisa ia menyaksikan bagaimana reaksi Aksara dan Aiden nanti.

"Papa nggak pernah mengajarkan kamu berbohong Ris," Suara Aiden masih tenang, tapi terdengar mengancam.

Iris semakin bergetar ketakutan, ia menggeser tubuhnya agar sedikit menjauh dari Aiden, kepalanya menunduk enggan ditatap oleh pemilik mata elang itu.

"JAWAB PAPA IRIS!" Suara Aiden mulai meninggi, percayalah itu kali pertama Aiden membentaknya.

Iris terperanjat kaget mendengar suara bariton Papanya, sementara Aksara menahan Aiden supaya tak berbuat lebih.

"I-iris tau siapa pelaku pembunuhan Mama Pa," cicit Iris ketakutan.

Pemilik mata elang itu semakin membuatnya ketakutan, Aiden memegang kedua bahu Iris, meminta putrinya untuk memberikan informasi lebih lanjut.

"Tatap lawan bicaramu Ris! Katakan pada Papa, sejauh apa kamu mengetahui itu!" Iris semakin berderai air mata ketika Aiden semakin terlihat marah. "Udah pa," Aksa menahan Aiden.

"N-Narendra Agnibrata."

Nama itu, Aiden tak akan mengampuninya kali ini. "Rendra?" Gumamnya pelan.

"Bukannya dia udah mati?" Aksa ikut menimpali.

Iris tetap menggeleng, "Nggak Sa, d-dia masih hidup bersama istri dan anaknya."

"Siapa?"

"Raino Elgarra Agnibrata."

"Tadi Iris ke rumah Rain pa, dan Ayahnya yang mengatakan itu semua pada Iris, mereka orang-orang jahat itu Pa, kecuali Rain," lanjut Iris.

Tubuh Iris melemas hingga ia menjatuhkan kertas yang dibawanya, sebuah foto yang Narendra tadi tunjukkan, berhasil ia bawa. Aiden membelalak sempurna ketika melihat foto itu, dia Zefa. Dan foto itu diambil tepat sebelum kecelakaan naas itu terjadi. Senja terakhir yang Aiden nikmati bersama Zefa, percayalah Aiden akhirnya membenci si matahari ketika tenggelam, rasa sakitnya saja masih tertanam sampai sekarang, dan kecil kemungkinan memori pilu tersebut bisa hilang, kecuali jika mereka sudah bersatu kembali, walau di semesta yang berbeda.

Tangan Aiden mengepal kuat, jiwa ketua Alaskar yang sudah lama dipendamnya, akan ia tunjukkan kembali.

"Nggak mungkin dia," gumam Aksara tak percaya.

"Berarti selama ini dugaan Papa benar, mereka masih hidup. Aksa cepat kumpulkan semua anggota, malam ini juga!" tegas Aiden.

"Papa, hiks... jangan Pa.." Iris menahan kaki Aiden supaya tak pergi. Ia tak peduli jika harus mencium kedua kaki Papanya, namun ia tak rela jika harus menghadapi kemarahan Aiden yang seperti ini.

"Nyawa harus di balas nyawa Ris! Mereka sudah mempermainkan Papa selama tujuh belas tahun ini!" Teriak Aiden nyalang.

"Jangan Rain pa, hiks.. Iris mohon hiks.." Iris semakin menahan kuat Aiden.

Aksara membantu Iris berdiri, lalu memeluk Iris erat. Berusaha menenangkan perempuan itu.

"Aksa, bilang sama Papa hikss.. jangan sakiti Rain," ujar Iris yang masih menangis di pelukan Aksara.

"Pa?" Panggil Aksa menghentikan Aiden yang tengah membereskan meja kerjanya.

"Papa tau apa yang harus dilakukan Aksa, jika Rain memang terbukti tak bersalah, maka dia akan bebas, namun jangan harap dia bisa menemui Iris lagi!" Peringat Aiden yang kemudian berlalu meninggalkan mereka berdua.

"Semua bakal baik-baik aja Ris," kata Aksa menenangkan.

"Gue takut Sa, Papa bakal lakuin hal yang sama ke Mama kepada Rain."

"Gue kenal Papa, dan Papa tidak akan melakukan hal sebodoh itu."

-TBC-

ETERNIDADE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang