11

5K 695 51
                                    

"Dam, apa-apan nih?"

Mendengar pertanyaan sarat nada tidak suka itu, Damian segera mendongak dari laptopnya yang tengah ia gunakan untuk menyusun materi presentasi produk baru minggu depan.

"Apa?" tanyanya pada Jikala yang kini tampak sedang kesal dengan menggemaskan. Maafkan tata bahasa aneh pilihan Damian––tapi ia sendiri bingung bagaimana mungkin seseorang bisa tampak selucu itu padahal sedang kesal.

Pemuda itu merengut dengan tangan terlipat di depan dada. "Lo nyari kamar yang bisa disewa di gedung apartemen gue? Are you kidding?"

Damian akhirnya paham konteks ucapan Kala. "Oh."

"'Oh'?!" Kala mendelik tak percaya. "Seriously, Dam?"

Rupanya Damian memilih untuk tak menghiraukan kegusaran Kala. "Tau dari mana?"

"Nggak penting gue tau dari mana." Tangan Kala mengibas bosan. "Intinya adalah, apa itu bener?"

"Hmm," Damian berguman mengiyakan kemudian kembali ke laptopnya. Seakan itu bukan hal besar yang layak mengintrupsi pekerjaannya.

Kala berdecak gemas. Ia menyeret kursi dari meja di sebelah Damian yang kosong, lalu mendudukinya dengan posisi menghadap pria itu. "Jadi itu biar apa sih, Damiaaaan??" tanya Kala frustasi.

Damian kini memfokuskan atensinya pada Kala lalu menjawab serius, "Biar gue lebih deket sama kalian, jadi gampang kalo ada apa-apa."

'Kalian' yang dimaksud tentu saja ia dan Lilo. Kala mendapati gelenyar aneh di perutnya yang tidak ada hubungannya dengan roti isi yang ia makan tadi.

"Tapi apartemen di situ kentang banget kalo dibandingin sama apartemen lo tempatin sekarang, tau! Ntar lo nyesel."

Damian tertawa geli. "Di antara semua hal, itu yang elo cemasin, Jikala?"

Bibir Kala mengerucut sebal. "Ya lagian, elo! Jarak tempat kita bukannya Kutub Utara - Kutub Selatan, Dam. Nggak perlu lah  sampe lo pindahan. Lagian juga boros, tau."

"Kan duit gue," jawabnya santai. Damian tertawa kian keras melihat wajah mendelik Kala yang seakan sudah bersiap untuk mencabiknya. "Nggak papa, Kala. Gue bukannya pindahan beneran kok. Paling cuma buat naro baju sama tidur bentaran. Gue bakal seringnya di sekitar lo, sih. Siap-siap aja lo gue gentayangin."

Kala mengernyit tak paham. "Terus di sekitar gue mau ngapain, gue tanya? Gue selama ini juga sendirian dan masih hidup baik-baik aja sampe sekarang."

"Yakin?" alis Damian terangkat jahil. "Kalo gitu kenapa Rhys bilang lo nangis nelpon dia minta disamperin malem-malem karena di kamar mandi ada kecoak?"

Si cepu itu, Kala mendesis kesal. "Jadi, poin lo apa?"

"Jadi, Jikala," ujarnya sabar seperti Ayah yang menjelaskan pada anaknya kenapa ia tak boleh menerima permen dari orang asing, "gunanya gue di deket elo adalah, so you could use me. Kalo ada situasi kecoak di kamar mandi lagi, atau buat angkat galon, buat masang lampu, buat benerin pipa bocor, benerin keran rusak—atau hal apapun yang bahaya dilakuin orang hamil. Anything. You can call me. One call away."

"Maksudnya lo jadi staf pribadi slash kacung gue?" Dengusan geli lolos dari bibir Kala. Padahal itu semua adalah pekerjaan yang bisa diselesaikan dengan Kala memanggil teknisi atau tukang. "Ya ampun, Dam, gitu aja kok repot-repot nyari apartemen dulu. Kalo gitu sih lo mending tinggal di apartemen gue aja, di sofa ruang tamu tapinya," ujar Kala bercanda.

"Pengennya," Damian tersenyum tipis, serius menanggapi, "tapi gue nggak mau bikin lo jadi nggak nyaman," ujarnya sembari mengusak kepala Kala.

Yang lebih muda mematung, kesulitan memberi reaksi. Begitu sadar ia mungkin tampak memasang wajah melamun yang tampak pilon, Kala buru-buru mengerjap dan berdehem. "Jadi ..., kamarnya ... ehm, udah dapet?"

The Art of Becoming ParentsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang