5

5.8K 715 76
                                    

Damian tengah berdiri bersandar di depan sebuah toilet klinik kandungan terkenal dengan tangan terlipat di dada. Kakinya ia ketukan ke lantai dengan irama tak beraturan yang terdengar resah. Alis pria itu bertautan, hal yang selalu terjadi setiap kali dia tengah berpikir keras. Orang yang hanya sepintas melihat mungkin akan mengira kalau Damian sedang memikirkan masalah sekrusial utang negara atau menyelesaikan soal kalkulus diferensial.

Pintu toilet di depannya yang terbuka membuatnya mendongak. Lalu tampaklah seorang pemuda yang Damian tunggui sedari tadi. Ia mengenakan kaus, kardigan rajut warna biru permen karet berbahan halus, dan celana katun longgar warna putih yang membalut tubuh kecilnya dengan manis.

"Loh, Dam? Kan udah gue bilang tunggu di mobil aja."

"Takut lo kesasar ke parkirannya." Damian mencoba melempar sedikit lelucon.

Pemuda itu––Jikala––memutar bola matanya, lalu mulai berjalan meninggalkan toilet, Damian segera menyusul hingga kini berjalan beriringan. "Lu kata gue bocah TK? Asal lo tau aja, ya, temen-temen gue itu pada manggil gue GPS berjalan. Jago gue baca map. Bahkan pernah nih gue nyetir sendirian ke Jogja. Ke Malang juga pernah. Nginep dua malem di Jogja, tiga malem di Malang. Nggak ada tuh nyasar," Ia mengibaskan tangan santai. "Masalah nyari parkiran mah kecil."

Damian terkekeh. Satu hal yang baru ia tahu soal Jikala, adalah bahwa pemuda itu sangat suka berbicara. Ia akan menceritakan semua kejadian yang ia alami seharian yang menurutnya layak untuk ceritakan pada orang yang sudah ia anggap dekat. Bahkan kejadian sekecil bertemu-kucing-kecil-yang-sangat-lucu-berwarna-oranye-di-jalan.

Saat baru berjalan sebentar meninggalkan toilet, Damian mendadak berhenti. Ia menahan pergelangan tangan Kala hingga pemuda itu ikut menyetop langkahnya.

Kala menoleh bingung. "Apa apa?"

Damian tidak menjawab, namun pria itu berlutut di depan sepatu Converse Kala. Ternyata tali sepatunya terlepas dan Damian membantu mengikat kembali.

"Dam, gue bisa sendiri."

Pria itu tetap fokus memperbaiki ikatan tali sepatu Kala. Ia berguman pelan, "Tanggung."

Kala berdiri canggung serba salah. Tak pernah sebelumnya ia diperlukan seperti dalam adegan picisan ala Cinderella begini.

Begitu Damian selesai mengikat tali sepatunya, mereka kembali melanjutkan langkah. Dengan ujung matanya Damian terus-terusan melirik yang lebih muda. Memastikan pemuda itu tidak memiliki sesuatu yang bisa membahayakan dirinya sendiri seperti tali sepatu tak terikat tadi. Lalu dengan siaga juga mengawasi langkah Kala, seakan takut si manis menginjak granat atau apa.

Kala merengut. "Damian, berhenti memperlakukan gue seperti gue adalah penyandang disabilitas."

"Mungkin maksudnya, memperlakukan lo seperti tuan putri?" ralat Damian santai.

"Damian, please, gue bisa ngikat tali sepatu sendiri. Umur gue itu dua puluh empat tahun, bukan empat tahun. Gue bukan anak kecil!" serunya dengan pipi mengembung.

"Iya, iya. Lo bukan anak kecil." Damian mengalah seraya mengusak puncak kepala brunette yang lebih muda.

Alis Kala menukik kesal seperti tupai marah dengan pipi mengembung. "Ish! Damiaaaan, rambut gueee!"

Laki-laki itu hanya tertawa.

Sesampainya di parkiran, keduanya menghampiri mobil SUV milik Damian. Pria itu kemudian membukakan pintu penumpang untuk yang lebih muda. "Silakan."

Adinata muda menatapnya tak percaya. Baru saja ia menutup mulut soal bahasan 'jangan memperlakukan Kala seperti penyandang disabilitas', tapi Damian tetap ngeyel––ah, sudahlah. Meski kesal namun Kala akui ia lama-lam menyukai perlakuan Damian untuknya. Akhirnya pemuda itu masuk ke mobil tanpa protes.

The Art of Becoming ParentsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang