—Evermore
"Suaramu kok keras sekali, sih? Kamu ini kecil padahal."
Di tengah kantuk yang masih membungkusnya, Sydney mengerjapkan mata pelan. Menyesuaikan diri dengan lampu kamar yang menyala terang.
Ia menyipitkan mata mengantuk. Kepalanya terasa seringan kapas. Sydney nyaris saja tertidur lagi kalau suara gerutuan yang berasal dari arah kanan tidak mengudara lagi, menjadi latar belakang dengan tangisan bayi yang melengking.
"Stop, nangisnya. Nanti Mama bangun. Dia butuh istirahat, tahu?"
Javier.
Itu suara suaminya.
Memiringkan kepala sedikit ke kanan, akhirnya Sydney bisa melihat pria itu berdiri di depan boks bayi yang sengaja mereka letakkan di kamar mereka—tengah menggendong buntalan mungil berbalut piama tidur dengan kernyitan di dahinya.
"Kamu haus atau apa? Kan popoknya sudah diganti. Kenapa masih aja nangis." Javier menimang bayi mereka dengan lembut. Menepuk-nepuk pelan pantatnya demi menenangkan bayi itu. "Kamu nggak pup lagi, kan? Tolong, jangan bilang kalau pup kamu tadi belum selesai."
Sydney hampir tertawa ketika Javier menganggkat bayi mereka ke udara, dan membaui bagian bawahnya dengan ragu-ragu.
Saat itulah ia menyadari tisu basah dan bedak bayi tergeletak di meja nursery—tanda baru saja digunakan. Laci tempat menyimpan popok baru bahkan masih terbuka. Itu artinya Javier baru selesai mengganti popok bayi mereka. Pasti akan membuat frustasi kalau ia harus melakukannya lagi tepat setelah yang sebelumnya baru selesai.
Sydney menggigit bibirnya lagi menahan tawa.
"Oke, nggak bau. Berarti haus."
Javier menghela napas. Berlagak seperti orang paling lelah sedunia, tapi kelembutan di sepasang matanya berkata lain.
"Alright. Ayo kita buatkan kamu susu, kalau begitu."
Kemudian sepasang ayah dan anak itu berlalu ke luar kamar dengan hati-hati. Derapan langkah Javier tidak terdengar sama sekali—seolah ia benar-benar tidak ingin Sydney terbangun.
Sydney tersenyum kecil. Perasaan hangat menyelimuti hatinya.
Rasanya baru kemarin ia ketakutan menyembunyikan kehamilannya pada sang suami. Dan kini melihat Javier menjadi ayah telaten yang begitu mencintai bayi mereka, terasa seperti mimpi indah yang menjadi kenyataan.
Javier kembali tak lama kemudian. Sydney cukup malu mengakui fakta bahwa ia pura-pura tidur demi menyaksikan momen menyetuh hati ini.
"There, there, minumnya pelan-pelan. Jangan sampai kamu tersedak." Javier menuntun dot botol bayi yang telah ia dinginkan ke bibir anaknya. Seulas senyum langsung tersampir di ujung bibirnya begitu bayi manis di gendongannya tersebut minum dengan lahap.
"Dasar anak manja," gerutunya, main-main. Sorot matanya yang lembut menyusuri bayi berumur 5 bulan itu cukup lama.
"Kenapa semua orang memuja-muja kamu, hm?" Javier beradu tatap dengan bayinya cukup lama. Sepasang matanya menilik makhluk kecil itu secara keseluruhan, seolah sedang mencari jawaban atas pertanyaannya. "Kenapa kehadiran kamu ditunggu-tunggu dan dianggap istimewa?"
Rupanya jawaban yang ia cari muncul ketika isi dot susu habis, dan buntalan dalam gendongannya tiba-tiba cegukan. Bayi lucu itu kemudian tertawa dengan tangan mungil menggapai-gapai wajah sang ayah.
"Oke, kamu menang. Semua kelakuanmu benar-benar ajaib." Javier menggelengkan kepalanya, bibirnya melengkung penuh sayang menatap bayi itu.
Meletakan botol bayi yang telah kosong di meja nursery di sebelah bedak bayi dan tisu basah, Javier kembali mengarahkan seluruh perhatiannya pada si kecil yang menatapnya sambil tertawa-tawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Art of Becoming Parents
FanfictionMinho dan Jisung adalah sepasang rekan kerja yang mendadak harus bekerja sama belajar menjadi orang tua demi mempertanggungjawabkan buah dari "kecelakaan" yang mereka perbuat di suatu malam yang panas. Akankah si paling terpaksa-menjadi-pasangan ya...