Di antara seluruh waktu dan semua klinik kandungan yang ada di bumi semesta ini, mengapa Sydney harus melakukan check-up berbarengan dengan Jikala?!
Jangan salah paham, masalahnya bukan di Jikala, tapi di Sydney sendiri. Ia dan permainan kucing-kucingannya dengan sang suami. Sehingga ia tidak mengharapkan siapa pun tahu soal kehamilannya dulu sekarang ini.
"Ya ampuuuun, Syd! Jadi kita hamil barengan? Anak kita bakal jadi sahabat nanti! Excited banget!" seru Kala ceria sembari mengguncang pelan lengan Sydney. Matanya berpendar penuh antusias tulus.
Bibir Sydney menyunggingkan senyum kecil. Tidak menyadari sisi baik ini karena terlalu sibuk memikirkan hal yang lain.
"Iya," ujarnya terkekeh pelan, berusaha mengimbangi antusiasme Kala. "Mana tau bakal barengan gini."
"Kita bisa belanja perlengkapan bayi bareng, Syd. Oh, kita bisa beliin mereka baju kembar! Ya ampun, can't waiiit!"
"Selamat ya, Sydney. Gue ikut seneng." Damian di sebelah Kala tersenyum tulus.
"Terima kasih." Sydney mengangguk menatap nanar pria itu. Berusaha mengabaikan perasaan iri yang menggerogoti hatinya. Membayangkan kalau saja ia bisa menjalani prosesi kehamilannya dengan ditemani sang suami. Kalau saja ia bukan satu-satunya yang bahagia dengan kehadiran bayi di perutnya.
"Lo sendirian aja?" Kala mengernyit mengamati sekeliling kalau-kalau menemukan suami Sydney. Lalu berdecak saat tidak menemukan sosoknya di sekitar mereka. "Ck! Masa Pak JJ nggak bisa nganter lo dulu?!"
"Nggak papa," Sydney memaksakan seulas senyum. "Dia masih ada ... urusan lain."
"Kalau lo nggak keberatan, lo bisa ikut mobil kita, Syd. Gue bisa nganter lo pulang dulu," tawar Damian.
Kala mengangguk-angguk kuat. "Iya, Syd. Ikut kita aja."
"Makasih sebelumnya, tapi nggak perlu. Gue bawa mobil," tolaknya sesopan mungkin.
"Kalau gitu pengen makan atau minum sesuatu? Gue mau ke kafetaria."
Kala menoleh pada Damian dengan mata berbinar. "Mau beliin gue boba yang lo janjiin tadi, ya??"
Damian memutar bola matanya jengah. "Iya. Lo itu kan kayak anak kecil yang dijanjiin beli permen,"––tangannya mengusak pelan kepala Kala––"bakal rewel seharian kalo nggak diturutin."
Alih-alih tersinggung, Kala hanya terkikik ceria. "Lo sendirian aja, ya. Gue masih ngobrol sama Sydney. By the way, gue yang cup large," ujarnya riang, bibirnya tersenyum. Pemuda itu kemudian meninju pelan bahu Damian main-main. "Thanks loh, Dam. Tumben-tumbenan elo nggak nyebelin."
Damian mengangguk dan tersenyum. Tidak sabar mematahkan prasangka baik Kala kepadanya. "Less sugar. Thai tea lo, yang less sugar."
Senyum Kala sirna berganti pelototan kesal. "KOK?!"
"Atau mungkin jus aja, ya?" Ia belum selesai menjahili pemuda itu.
"DAMIAN!" seru Kala semakin kesal.
Damian tertawa kecil, lalu kemudian serius menatap Kala dengan tatapan hangatnya. "Nanti tenggorokan lo sakit lagi," bujuknya halus seperti membujuk anak kecil. "Enggak enak kan, tenggorokannya sakit?"
Bibir Kala masih cemberut. "Ya udah, iya. Yang less sugar," gerutunya setengah tidak rela.
Tidak tahu saja Kala, bahwa sang sahabat tengah menatap interaksi keduanya dengan tatapan mendamba yang sebisa mungkin ia sembunyikan. Dadanya seakan ditabuh hingga ia sesak.
Rejeki lo, Kal. Sydney tersenyum kecil.
"Elo, Syd," suara Damian memecah lamunan pemuda manis itu. "Mau sesuatu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Art of Becoming Parents
FanficMinho dan Jisung adalah sepasang rekan kerja yang mendadak harus bekerja sama belajar menjadi orang tua demi mempertanggungjawabkan buah dari "kecelakaan" yang mereka perbuat di suatu malam yang panas. Akankah si paling terpaksa-menjadi-pasangan ya...