Damian tengah memainkan ponselnya, saat alarm microwave berbunyi. Suara Kala dari dalam kamar menyusul tak lama kemudian. "Dam, tolong keluarin ayamnya dari microwave! Terus bawa ke depan sekalian. Makasih yaaa!"
Damian bergumam mengiyakan sambil meletakkan ponselnya di meja, dan berjalan ke dapur.
Dengan canggung dan hati-hati––karena tidak terbiasa––pria itu membawa piring ayam goreng yang mengepul hangat itu ke depan. Aromanya memenuhi penjuru ruangan.
Tak lama kemudian, Kala keluar dari kamar dengan buku yang masih terbungkus plastik di tangan. Ia telah mengganti bajunya menjadi kaos rumahan yang nyaman dan celana pendek.
"Hmm, baunya enak bangeeeet~" Kala tersenyum berseri saat hidungnya dimanjakan aroma lezat berlemak itu. Ia duduk bersila di sebelah Damian dengan santai, bersiap untuk makan.
"Cuci tangan dulu."
Kala merengut. "Tadi udah pas mau bikin teh," elaknya.
"Cuci lagi. Tangan lo udah dipake buat lain-lain kan tadi," ujarnya seperti ibu-ibu cerewet pada anaknya yang bandel.
Mata Kala menyipit tak suka, tapi toh ia menurut. "Iya, iya, jangan dihabisin dulu ayamnya," gerutunya.
Kala melesat buru-buru ke dapur untuk mencuci tangan di wastafel. Kemudian pemuda itu kembali berlari riang ke ruang tengah lagi begitu selesai mencuci tangan asal-asalan.
"Yeaaaay~ makan!" serunya seraya mencomot satu potong paha ayam dan menghempaskan diri di sofa. "Kurang nasi sama bir dingin, nih!"
Kunyahan Damian terhenti dan matanya memicing, tapi kemudian ia memutuskan bahwa Kala pasti tidak mungkin sebodoh itu ingin menegak bir. "Tea is fine."
Kala tertawa. "Iyaaa, Damian, nggak papa adanya teh juga."
"Jikala," Damian meletakkan sisa tulang ayam di tepi piring dan menyeka tangannya dengan tisu. Tatapannya yang tajam menyorot Kala dengan serius. "Don't you think we look like ... a married couple?"
Kala tetap fokus makan dan menyahut sambil lalu, "Hmm? Bagian mananya?"
"Well ... semuanya? Like, you made tea for me, I helped you preparing dinner for us. It's just like something a married couple would do."
Kening mulus Kala berkerut heran. "Masa sih?"
"Iya," sahutnya tegas, "See? We did a pretty good job as a partner. So, why don't we try it?"
"Try what?" tanya Kala, tampak defensif karena mulai bisa menebak arah pembicaraan.
"Marriage." Damian menjawab lugas.
Pemuda bersurai kecoklatan itu menghela napas. Ia meletakan sayap ayam yang belum ia makan kembali ke piring, mulai serius untuk menanggapi argumen Damian.
"Gue malah bingung kenapa harus ada pernikahan segala? We still could be a partner raising Lilo tanpa perlu ada ikatan apapun."
Damian mengeraskan rahangnya menahan geram. "Jikala, we live in society. It won't be good for Lilo kalau society tau dia bukan dari keluarga yang––well, 'umumnya kebanyakan'. They will be mocking our Lilo."
"For real, Raka? Pikiran lo sedangkal itu?" Kala mendengus tak percaya. "Gue bisa lindungin Lilo gue, kalo itu yang lo khawatirin."
Alis Damian terangkat sangsi. "How?" tantangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Art of Becoming Parents
FanficMinho dan Jisung adalah sepasang rekan kerja yang mendadak harus bekerja sama belajar menjadi orang tua demi mempertanggungjawabkan buah dari "kecelakaan" yang mereka perbuat di suatu malam yang panas. Akankah si paling terpaksa-menjadi-pasangan ya...