Extra : Irisan 3 Dari 4

3K 441 91
                                    

Evening Date

Bunda tertawa kecil sambil berusaha mengabaikan kesilauan bandul kalung emas baru Jeung Ribka si tuan rumah, teman arisan Bunda yang hobi bergosip itu.

"Begitulah, jeung. Anak-anak aku sih udah pada nikah semua. Istrinya Matthew sekarang udah hamil anak kedua, terus Kalila juga anaknya udah masuk SD. Aduuuh, jeung, bahagia sekali kalau udah jadi nenek dari semua anak kita. Jeung Yashinta belum paham sih, ya, gimana rasanya. Hihihi." Mata jeung Ribka yang dibubuhi eyeshadow mentereng berwarna hijau mengerling pada Bunda.

"Aku sih dapet satu cucu aja udah bersyukur banget, jeung," Bunda lanjut menyesap teh hangatnya. "Tapi satu aja rasanya udah cukup. Aksa cucuku itu lucu banget. Dan lagi pula, kan terserah anak-anak aku mereka mau punya anak atau enggak."

"Eh, itu aja satu harus dari DP dulu ya, jeung, istilahnya. Bayar di depan alias Kala hamil duluan."

Mampus kamu, Jeung Ribka tersenyum.

Kurang ajar si Muka Colenak ini, Bunda ikut tersenyum.

"Mau gimana lagi, jeung? Yang penting kan Kala udah belajar dari kesalahan masa lalunya dan sekarang menjalani hidup dia sebagai ibu dengan baik."

Satu jari Jeung Ribka terus—dengan sengaja—mengusap bandul kalung emasnya sembari berharap Bunda terkagum-kagum. Bibirnya mengumbar senyum prihatin. "Haduh, pergaulan anak jaman sekarang emang ngeri! Untunglah anak-anak aku pada ada di jalan yang benar."

"Kecuali menantu kamu—suaminya Kalila—yang kena kasus karena jadi makelar investasi bodong itu ya, jeung?" Bunda tersenyum penuh kemenangan.

Bibir Jeung Ribka bergetar memaksakan senyum kecut, sementara cuping hidungnya kembang kempis menahan marah. "Dia cuma anak polos yang ngikutin temennya aja. Yah, namanya juga manusia. Pasti bakal ada buat salah, kan?"

'Anak polos' dari Hongkong?! Bunda terkekeh anggun seraya meletakkan cangkir teh hangatnya di atas meja. "Begitulah, ya. Namanya juga manusia."

"Ngomong-ngomong, aku prihatin loh lihat Nakia sama Brian. Mereka tuh kan udah berumur, kok ya belum nikah-nikah?! Nanti kalau sampai ketuaan, takut nggak ada yang mau."

Bunda mengulum senyum sabar. "Nggak papa, jeung. Yang penting anak-anak aku sehat dan bahagia. Aku sama suamiku udah pasrah nggak mau maksa mereka apa-apa lagi."

"Haish, jangan begitu lah Jeung Yash. Mereka tuh seenaknya gara-gara diumbar sama kamu. Ngomong-ngomong, keponakan aku yang lagi kuliah S2 di Singapur seumuran loh sama Brian. Mau aku kenalin?"

"Aku udah nyerah ngenalin Brian ke calon potensial sejak lama. Anak itu nggak akan tertarik. Dia lebih suka ikut tim ekspedisinya ke pedalaman hutan hujan Amazon."

Jeung Ribka melanjutkan seakan tidak mendengarkan ketidaksetujuan Bunda. "Nakia juga. Bulan lalu dia liburan sendirian ke Itali, kan ya? Haduh, anak gadis kok hobinya kelayapan ke luar negeri. Bilangin jeung, jangan terlalu mandiri dan superior begitu. Nanti laki-laki pada nggak mau."

Bunda masih memaksa tersenyum meski dadanya panas menahan dongkol. "Dia nabung dan liburan pakai uang dia sendiri, nggak merugikan siapa pun. Aku nggak keberatan dia hobi kelayapan ke luar negeri."

"Tapi mereka juga nggak akan mau sama Nakia mungkin juga karena dia nggak bisa hamil—eh, aduh, maaf loh, jeung, tapi ini kenyataan. Nakia harus nurunin kriteria dia biar dapet laki-laki yang nerima dia apa adanya. Kayak Pak RT yang udah punya istri 2 dan anak 5 itu tuh. Aku yakin dia nggak keberatan memperistri Nakia yang nggak bisa ngasih keturu—"

Ucapan Jeung Ribka terputus saat Bunda tahu-tahu menggebarak meja dengan marah. Membuat cangkir-cangkir berisi air teh di atasnya bergoyang seperti terkena gempa. Wanita itu berdiri sambil menatap tajam teman arisannya dengan napas menderu.

The Art of Becoming ParentsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang