—Epilog
Pukul 08.00 pagi di kediaman keluarga Raka.
Belum pernah tempat tinggal Ibu dan Leonas menjadi seramai ini. Sonnie dan Dongie masih mendengur nyaman di tempat tidurnya. Sementara Dori, yang tidak sedang caper ke kucing kompleks depan, menatap galak sekeliling—waspada pada keramaian yang tidak biasa ini.
Manusia mungil yang belakangan menjadi kesayangan majikannya tengah menjadi bintang utama dari kehebohan di ruang keluarga itu. Si bayi tengah asyik memainkan kerincingan bayi seraya belajar duduk dengan susah payah—hanya untuk terjatuh ke belakang tak lama kemudian, mengundang tawa semua orang. Kemudian ia mulai berceloteh riang sembari berguling-guling di karpet bulu, dikelilingi orang-orang yang menatapnya dengan binar sayang.
Di dapur, Bunda bahkan ikut turun memasak untuk membantu Ibu dan asisten rumah tangga menyiapkan sarapan untuk sekompi orang. Mau tidak mau, Bunda merasa tidak enak karena seluruh keluarganya kini berada si rumah sang besan, dan ... membuat ricuh.
"Sekali lagi maaf ya, Bu Runi, keluarga saya ngerepotin di sini."
Ibu mengibas tangan dengan tawa ramah. "Ngerepotin apa toh, Bu Yash? Saya malah seneng begini. Rame!"
Awalnya keluarga Adinata ingin menginap di hotel saja, namun Ibu langsung menentang keras ide itu dan menawarkan rumahnya menjadi homestay dadakan. Ada banyak kamar kosong di rumah kami, katanya.
Seusai sarapan paling ricuh sepanjang sejarah keluarga Raka itu selesai digelar, semuanya berbondong-bondong keluar rumah. Bunda keluar belakangan setelah menghabiskan teh hangatnya.
Di halaman depan rumah besar besannya, ia mendapati Kala tengah menggendong sang anak. Bersama suaminya, Kala bercanda dengan Aksa hingga bayi gembul itu tertawa-tawa kegirangan. Kala begitu penuh kasih sayang dan welas asih menjaga Aksa. Membuat Bunda trenyuh melihatnya.
Perasaan Bunda saja, atau memang sejak memiliki anak dan menikah Kala jadi lebih kalem, lembut, anggun, dan ...
"IBUNDAAA!" Mata Kala menangkap ibunya yang baru bergabung di halaman, otomatis berteriak memanggil, membuat Aksa terlonjak kaget di gendongannya. Lalu dengan serampangan yang membuat jantung Bunda hampir copot, Kala begitu saja menyerahkan bayinya ke sang suami, lalu berlari menyongsong Bunda. "AKU MAU LATIHAN NAIK SEPEDA, YIIIIIIIIHHAAA!!!!!"
... ternyata cuma perasaan Bunda saja.
Bibir Bunda berkedut mempertahankan senyum harunya yang terancam luntur. Mikir apa ia tadi. Memang sejak kapan Kala dan kalem bisa disatukan dalam sebuah kalimat? Bunda mimpi ketinggian.
Demi mengobati harapannya yang masih jauh dari kenyataan itu, Bunda mengambil alih Aksa dari menantunya. Barangkali curhat pada sang cucu kenapa ibunya sangat petakilan.
Tapi toh itu tetap tidak akan bisa menurunkan suasana hati Bunda, karena seperti yang sudah disinggung tadi, hari ini adalah hari besar.
Oke, mungkin tidak bagi semua orang, tapi hanya bagi Kala. Baginya, hari ini adalah hari bersejarah yang pantas masuk Guinness Book of Records versi Kala; ia akhirnya belajar naik sepeda.
Dan orang-orang di sekitarnya—sayangnya—sedikiiiiit terlalu bersemangat untuk menemaninya menyambut hari ini. Di jalanan lenggang kompleks perumahan depan rumah besar keluarga Raka, tersebutlah manusia-manusia random tim horenya:
Bunda yang tengah menggendong Aksa di pelukannya, bayi lucu dalam setelan berwarna biru muda itu tengah mengoceh riang dengan bahasa bayinya yang tidak seorang pun mengerti—merasa senang dengan ramainya orang saat ini. Di sebelahnya, ada Ibu yang tampak bersabar menahan diri menunggu giliran untuk menggendong sang cucu. Wanita itu harus cukup puas dengan mencandai Aksa dan memegang tangan kecilnya saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Art of Becoming Parents
FanfictionMinho dan Jisung adalah sepasang rekan kerja yang mendadak harus bekerja sama belajar menjadi orang tua demi mempertanggungjawabkan buah dari "kecelakaan" yang mereka perbuat di suatu malam yang panas. Akankah si paling terpaksa-menjadi-pasangan ya...