30

5.1K 657 254
                                    

Sekujur tubuh Damian mengigil meski ia tidak kedinginan. Tangannya ia kepalkan erat, memaksanya berhenti gemetar. Tatapan mata tajam yang tidak pernah kehilangan fokus itu kini tampak linglung dengan sorot melamun.

Setelah memberi Damian waktu sendiri untuk beberapa saat, Ibu menghampiri sang putra yang tengah duduk di kursi tunggu pasca dokter Rere berlalu meninggalkannya. Mata perempuan setengah baya itu memerah menahan tangis.

Dari dulu, Damian selalu menjadi anak tangguh yang jarang menangis. Meski terlihat santai dan sering mengumbar tawa yang menyiratkan 'aku-baik-baik-saja', Ibu yang paling tahu bahwa putranya telah mengenyam banyak kepahitan.

Wanita itu berjalan mendekati putranya yang tampak kacau seakan disorientasi atas apa yang terjadi. Ibu mengusap bahu Damian lembut, kemudian membawa tubuh tegap anaknya yang terduduk itu ke dalam pelukan.

"Sing sabar, Mas. Ndonga kaliyan Gusti supaya Kala dan Lilo iso slamet kabeh."

Di luar dugaan Ibu, Damian yang tengah balas memeluk perutnya erat itu ternyata tengah menangis dengan isakan kecil.

"M-maafkan aku," lirihnya. Putus asa. Patah arang. "Ya Tuhan, aku mohon maafkan aku."

Ibu ikut menangis sembari mengusap suraian legam sang putra. Tidak mampu mengucapkan penghibur lain selain bergumam 'sabar' dengan lemah.

"Ibu," ratapnya pilu dengan suara yang menyimpan duka mengiris hati. "Lilo, Bu—hhhh—Ibu ... anakku, Ibu. B-bayi kecilku yang cuma bisa tidur kalau aku usap dia d-dari perut Kala. Lilo yang menendang tanganku dari dalam perut Kala kalau aku lagi cerita ke dia. Ibu ..., g-gimana anakku, Ibu?"

Damian terisak dengan suara bergetar menyedihkan. Kini tidak ada lagi pria dewasa tangguh yang mampu menghadap apa pun dengan dagu terangkat. Yang ada hanya anak laki-laki yang ketakutan menangis di pelukan ibunya.

Saat Damian kecil menangis karena ia tak sengaja merusakan mainan pemberian Ibu, wanita itu bisa memeluk Damian dan menghiburnya dengan mengatakan mereka bisa membeli mainan lagi. Tapi kali ini, Ibu tidak bisa melakukan apa pun untuk mengangkat kesedihan sang putra. Ia tidak bisa melakukan apa pun, selain melingkupi tubuh besar Damian dengan lengan kurusnya yang sudah tua dalam sebuah pelukan erat.

Masih segar di kepala Ibu, betapa hancurnya Damian saat ia mengantarkan bayinya yang masih berupa janin berusia 4 bulan ke tempat peristirahatan terakhirnya tiga tahun lalu. Berbeda dengan raut dingin yang ia pasang saat menghadiri pemakaman Luna, Ibu tahu Damian hancur lebur di pemakaman bayinya. Pria itu merasa telah gagal melindungi anaknya yang telah ia sayangi begitu tahu ia ada.

Dan jika Damian harus kembali merasakan sakitnya kehilangan anaknya yang bahkan belum tahu dunia untuk kedua kalinya ....

Ibu menggeleng kepala kuat-kuat di sela tangisannya, menghapus mimpi buruk itu. Sekuat apa pun hati manusia, Ibu tidak sanggup membayangkan bagaimana jadinya jika ia hancur untuk kedua kali.

"Jangan mendahului Tuhan, Damian. Le, Cah Bagus, jangan putus harapan apalagi berhenti meminta kersane Gusti. Dokter yang hebat itu juga manusia, dia bisa saja keliru dan ternyata Kala dan Lilo akan baik-baik saja. Mereka akan baik-baik saja."

Pria itu masih menangis di perut ibunya. Kalimat Ibu terasa seperti harapan semu yang menyakitkan. Alih-alih menuruti ibunya untuk berdoa, Damian merasa marah. Perasaannya bergemuruh, marah luar biasa pada takdir namun tidak berdaya. Ingin menumpat dan merutuk namun tidak tahu pada siapa.

Mengingat tubuh Kala masih terbaring dengan penuh kesakitan di ranjang rumah sakit dari balik dinding ini membuatnya sesak.

Membiarkan Kala menjalani operasi tanpa anestesi. Sama dengan membiarkan pisau bedah menyentuh kulit Kala sementara pemuda itu dalam kesadaran penuh. Rasa sakit yang akan ia rasakan, Damian tidak sanggup membayangkan Rockstar kecilnya harus mengalami itu. Ditambah mimpi buruk bahwa hasil akhir operasi kemungkinan besar akan merenggut nyawanya. Otak Damian kebas memikirkan itu, dadanya perih. Tanpa Jikala, tanpa pemuda yang begitu ia cintai itu, ia tidak bisa melihat masa depannya selain gelap dan dingin.

The Art of Becoming ParentsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang