The Art of Becoming Parents

6.4K 742 532
                                    

Sisa hujan semalam masih menyisakan hawa dingin di hari minggu pagi ini. Sebagian orang mungkin lebih suka menarik selimut dan melanjutkan tidur. Berbaring nyaman di kasur dan melihat awan mendung yang berarak-arak di langit dari balik jendela kamar seraya menyesap cokelat hangat dan mendengarkan lagu kesukaan di Spotify.

Tapi tidak dengan pria tinggi itu.

Mengabaikan gerimis kecil yang membasahi mantel hitamnya, udara dingin yang menusuk kulit, maupun tanah becek berlumpur yang mengotori sepatunya, Damian tetap melangkahkan kaki-kaki panjangnya dengan mantap di area pemakaman itu. Menyusuri jalan setapak sempit yang membatasi nisan demi nisan.

Laki-laki itu mendongak menatap awan gelap yang menggulung tebal di atasnya, menaungi area pemakaman dengan warna kelabu. Matahari bersinar redup, tersembunyi malu-malu di balik mendung. Damian berdoa dalam hati agar hujan tidak turun dulu sekarang.

Masih terlalu pagi untuk berziarah, kata laki-laki tua pembersih kuburan yang ia sapa di depan. Tapi Damian memiliki rencana akan pergi ke rumah Ibu setelah ini, jadi ia sengaja berangkat lebih awal ke makam.

Di depan sebuah batu nisan, Damian meletakkan sebuket bunga anyelir putih, sebungkus biskuit bayi rasa pisang, dan sepatu bayi mungil berwarna pastel dengan motif beruang lucu yang menggemaskan.

Senyumannya merebak gemetar, ia berjongkok lama di sana, memandangi batu nisan itu dengan khidmat. Sebentuk kehangatan melingkupi hatinya, seperti penawar untuk racun mematikan yang pernah dideritanya.

"Halo, Sayang. Maaf Ayah baru sempat datang lagi. Belakangan ini ..., banyak hal yang terjadi." Damian berujar lembut. "Gimana di sana? Pasti menyenangkan ya? Pasti sekarang kamu lagi bahagia bareng sama malaikat-malaikat di surga kan, Sayang? Kalau begitu Ayah nggak akan terlalu khawatirin kamu. Kamu liat aja dari atas sana, Ayah baik-baik aja, sekarang. Serius," ujarnya dengan tawa sumbang yang pelan. Lalu bibirnya mengurai senyum sedih. "Paling-paling Ayah hanya merindukan kamu. Sangat. Dan menyalahkan diri Ayah sendiri atas kepergian kamu. Tapi setidaknya, Ayah bisa berdamai sama kepergian kamu. Memaafkan diri sendiri dan mencoba mengobati hati. Kata mereka, yang patah akan tumbuh, yang hilang akan berganti. Mungkin itu benar. Jadi di sinilah Ayah, Nak ..., melanjutkan hidup."

Damian menghela napas panjang. Dengan tangannya, ia mengusap lembut jejak-jejak daun yang mengotori nisan. Cincin pernikahan dari emas putih yang melingkari jari manisnya nampak berpendar samar di bawah sinar matahari.

"Sekarang Ayah udah bisa masak. Jangankan omelette ham, bikin yang sesusah Beef Wellington aja Ayah udah jago. Seandainya kamu di sini buat ikut makan masakan Ayah ...," ujarnya dengan suara memelan di akhir. Tawa kecilnya kemudian merebak parau. "Tapi di surga makanannya lebih enak, kan, Sayang? Meski begitu, kadang Ayah tetap berandai-andai. Bagaimana kalau seandainya kamu masih di sini sama Ayah. Kira-kira apa makanan kesukaan kamu. Kamu lebih suka susu rasa cokelat atau stroberi. Lebih suka kucing atau kelinci. Atau mainan kesukaan kamu. Atau jenis sayur yang nggak kamu sukai. Kadang, Ayah menyesal nggak bisa mengenal kamu ...."

Sementara Damian masih asik bercerita di makam itu, seseorang menghampirinya dari belakang. Ia menepuk pelan pundak Damian, membuat laki-laki itu menoleh. Sebelum mendongak menatap pemuda manis yang menepuk pundaknya, sudut mata Damian menangkap sepatu putih si manis itu yang menjadi kotor karena tanah basah.

Damian berdiri. "Kala, kenapa nyusul? Kan udah aku bilang tunggu di mobil aja. Lihat, sepatu kamu jadi kotor."

Pemuda manis itu, Jikala, mencebikan bibir. "Nih, si Manja. Rewel banget, nggak bisa sebentar aja nggak ngeliat ayahnya," keluhnya berlagak lelah luar biasa, namun matanya yang menyorot sayang pada bayi di gendongannya berkata lain.

Melihat sang ayah, bayi mungil berusia 6 bulan di pelukan Kala sontak menjerit senang dengan senyum berseri yang membuat matanya menyipit seperti bulan sabit. Kedua tangannya yang gemuk bergerak-gerak antusias menggapai ke arah ayahnya minta digendong, sementara bibir pinknya terus mengeluarkan celotehan khas bayi.

The Art of Becoming ParentsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang