13

5.2K 656 65
                                    

Setelah saling tatap dan terdiam beberapa saat lamanya, dengusan bernada sinis akhirnya lolos dari mulut Jikala, memecah keheningan memekakan yang ada.

"Gue tebak pasti Bunda udah ngomong satu dua hal ke elo, ya kan?"

Wajah Damian tampak menunjukkan itu dengan jelas. Pastilah pria itu kini sudah mengetahui sudut pandangnya.

Maka Kala menghentikan aksi pura-pura dan mencari-cari alasannya, kemudian memutuskan untuk membawa alasannya yang sesungguhnya ke permukaan.

"Cinta, ya?" tanyanya retoris. Rautnya tampak terganggu seakan sedang membahas hal paling konyol di dunia.

"Hm," gumannya dingin. Bibirnya yang kemerahan mengulas senyum meremehkan. "Mau gue kasih tau berita buruk? Well, Damian, cinta itu ibarat kita ngasih pistol ke tangan orang lain dan percaya orang itu nggak akan nembak kepala kita. Cuma orang bodoh yang mau ngelakuin itu." Kala menggeleng tak habis pikir, seakan tidak akan bisa memahami konsep cinta penuh warna yang begitu diagungkan oleh orang-orang.

"Oh, ya?" desis Damian geram. "Terus gimana dengan orang tua lo? Juga temen lo––si Sydney sama Pak Bos kita. Juga semua pasangan di dunia ini yang saling mencintai. Apa mereka semua bodoh?"

Pundak Kala mengedik santai. "Yaah ... it may work on some people. But not for me," ujarnya menggeleng. "Gue, jelas bukan tipe orang yang akan sebodoh itu percaya buta itu ke orang lain."

***

Damian mengeraskan rahang mengingat lanjutan percakapannya kemarin malam dengan Jikala, kesal luar biasa pada diri sendiri. Buku-buku jarinya mencengkram erat setir mobil hingga guratan uratnya terlihat jelas.

He knew that he messed up.

Bunda Kala bilang untuk pelan-pelan saja. Jadilah tetesan air hujan untuk Kala si kepala batu.

Tapi apa yang Damian lakukan?

Ia malah menjadi bor listrik yang tidak sabar langsung ingin menghancurkan batu itu dalam sekali percobaan. Memuntahkan tawaran pernikahan––dengan mengatasnamakan Lilo––langsung di depan wajah Kala.

Tidak heran pemuda itu menjadi begitu defensif dan sengit mendebatnya.

Setelah memikirkan itu, ia segera membelokan kemudi mobil dan memutar arah menuju apartemen Kala. Hari ini mereka memang tidak pulang bersama, selain karena memang tidak ada alasan untuk itu, Damian juga harus pulang sedikit terlambat karena menyelesaikan pekerjaannya.

Sekarang tubuh tinggi Damian tengah berdiri kaku di depan pintu unit apartemen Kala. Telunjuknya tampak ragu untuk memencet bel atau tidak, tapi setelah menarik napas panjang menenangkan diri, bel itu pun akhirnya ia tekan juga.

Tak butuh waktu lama, paras manis Kala muncul bersama ia membukakan pintu. Wajah terkejut pemuda itu dengan cepat berubah menjadi 'tidak suka' menyadari siapa yang berkunjung ke rumahnya.

Damian meringis dalam hati langsung disambut tidak ramah begitu. Bibirnya ia gigit pertanda gugup.

"Hey," panggilnya lembut seraya mengukir seulas senyum kecil yang ragu-ragu. Sebisa mungkin berusaha membuat Kala tidak tambah bad mood. "Apa ... gue ganggu?"

Kala melipat kedua tangannya di depan dada dengan mata memicing. "Tergantung," sahutnya jutek, "kalo lo ke sini cuma mau ngajakin gue berantem, iya, lo ganggu."

"Nggak," Damian menggeleng kalem. "Gue ke sini mau minta maaf––"

Ucapan Damian terpotong saat seorang petugas kebersihan dengan gerobak pel dan peralatan bersih-bersihnya datang menyusuri lorong apartemen sembari bersiul santai. Di telinganya tersumbat wireless earphone. Ia terlihat begitu menghayati lagu yang tengah didengar, tidak terganggu pada sekitar.

The Art of Becoming ParentsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang