20

6.4K 724 211
                                    

Sydney harap ia bisa membaca pikiran orang lain.

Pikiran Javier lebih tepatnya.

Saat pria itu menghindarinya––di kantor bahkan di rumah––begitu tahu bahwa ia hamil. Apakah Javier marah, kesal, kecewa, frustasi, Sydney buta akan itu. Javier sangat tahu bagaimana cara menghukumnya. Hukuman yang Sydney sendiri tidak begitu yakin, apakah ia pantas mendapatkannya atau tidak.

Pemuda itu masih duduk meringkuk memeluk lutut di kaki ranjang. Wajahnya pucat pasi. Sepasang matanya sembab dan memerah tanda ia sudah terlalu banyak menangis. Dengan bahu gemetar menahan luapan emosinya, ia melirik jam digital di nakas dan ternyata sudah hampir tengah malam. Namun sang suami tak kunjung pulang.

Raga dan batinnya begitu lelah. Tapi ia tahu, berbaring pun ia tetap tidak akan lelap tertidur. Tidak saat suaminya tetap berusaha mengabaikan gajah di ruangan dan mengganjal hatinya dengan asumsi mengganggu.

Sydney mendongak kaget saat pintu kamar tidurnya dibuka dengan gerakan serba terburu-buru, lalu mendapati sang suami berdiri di sana dengan napas terengah dan raut wajah kalut. Tatapan pria itu terkunci sepenuhnya pada Sydney yang pasti tampak kacau dan menyedihkan.

"Sydney," napas Javier tercekat di tenggorokan yang kini mendadak kering. Jantungnya seolah teriris melihat kondisi orang yang seharusnya ia bahagiakan selalu justru tengah didera duka karenanya.

"Kak," Sydney terisak kecil.

Javier berjalan cepat menghampiri pemuda itu sambil melempar sembarangan jas kerjanya ke lantai. Ia berlutut di depan Sydney kemudian menangkup pipi pemuda itu dengan begitu lembut, seolah-olah ia adalah porselen yang mudah pecah. Jemari Javier mengusap sisa air mata Sydney yang hampir mengiring di pipi halusnya.

"Aku kira, Kakak nggak pulang," cicitnya pilu.

Javier mengerjap susah payah. Hatinya mencelos dan ia merasa sesak luar biasa seperti dadanya ditimpa batu besar. "Kenapa mikir gitu?" tanyanya serak dengan suara tercekat.

"Karena Kakak benci aku?" rintihnya putus asa.

Javier terhenyak. "Kakak nggak mungkin benci kamu," ujarnya lembut sembari mengusap pipi yang lebih muda. "Nggak akan pernah."

"Gimana aku nggak mikir gitu. Kakak marah, kan? Aku tau aku messed up, tapi jangan hukum aku begini. Kakak milih buat hindarin aku dari pada diskusi baik-baik," nada suara pemuda itu terdengar begitu lelah. "Sakit, tau. Semua ini buat aku bingung. Sedih. Dedek bayi juga ikutan sedih."

Javier merasa seperti baru saja ditonjok tepat di jantungnya. Membuatnya kalah telak.

"I am so sorry. I really am," bisiknya tulus penuh penyesalan. Tangannya menggenggam erat kedua tangan Sydney yang dingin. "I was a jerk. A worthless stupid moron. Kakak cuma ... nggak tau harus bereaksi apa, Sydney. Tapi Kakak janji, Kakak jauh sekali dari kata marah. Apalagi benci sama kamu. Maafin Kakak, udah buat kamu sedih."

Kedua manik kecokalatan Sydney mengerjap ragu. "Kakak ... nggak marah?"

Javier menggeleng tegas. Menunjukkan pada Sydney kesungguhannya.

"Nggak suruh aku aborsi?"

"Tentu saja enggak, Sayang," ujarnya begitu lembut. "Dia anak kita. Why would I asking you to do such a cruel thing?"

Mata Sydney bergerak-gerak mencari kesungguhan di netra gelap suaminya. Setelah yakin ia mendapati itu, matanya kembali memanas oleh kebahagiaan yang membuncah memenuhi dadanya.

"By the way," ujarnya di sisa isakan sembari mengusap hidungnya yang memerah, "stupid moron itu berlebihan. Pemborosan kata yang maknanya sama."

The Art of Becoming ParentsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang