8

4.4K 670 92
                                    

"Bangsat!"

Brian adalah yang pertama kali tersadar dari efek kejut luar biasa berita yang disampaikan Damian. Pria itu berdiri penuh amarah dari kursinya dengan napas menderu seperti naga yang dibangunkan dari tidur.

"Lo apain adek gue, Anjing!"

"Bri––"

Kakak tertua Kala tetap mengamuk seperti anjing gila. "Gue tau ada yang nggak bener pas pertama kali liat lo di sini. Dan gue bener. Listen here, you son of a bitch, now you're a dead meat. Gue pastiin––"

"Brian!" Ayah memanggil lagi dengan nada lebih tegas. Sorot matanya begitu dingin, pertanda siapa pun akan berada dalam bahaya besar kalau berani membantah. "Duduk."

"T-tapi––Ayah nggak denger dia ngomong apa?!" protes si sulung tak terima. "Bajingan ini,"––ia menunjuk Damian dengan jarinya––"dia ... sama Kala ... Kalanya kita. Dia ... d-dia––" Tubuh Brian bergetar, terlalu murka untuk menyelesaikan kalimatnya.

"Ayah dengar, Brian. Ayah dengar," ujarnya setenang kapal Titanic sebelum menabrak gunung es dan menjadi bangkai sejarah di dasar laut. "Tapi amukan dan bahasa binatang kamu nggak akan menyelesaikan apa-apa." Suara Ayah setipis lapisan es rapuh, yang bisa pecah hanya dengan sentuhan jemari. Ada peringatan yang coba ia sampaikan dengan ketenangan semacam itu. "Sekarang duduk."

Abang Kala terpaksa membanting bokongnya di tempat duduk dengan enggan. Matanya yang setajam elang mengintai mangsa, terpaku pada Damian. Kalau saja tatapan bisa membunuh, pastilah Damian sudah jadi abu di kursinya.

Setelah beberapa saat hanya ada keheningan yang mencekik, Ayah akhirnya membuka suara, "Kala."

Ayah memanggil dengan intonasi dingin yang tidak pernah didengar Kala sepanjang hidupnya. Tidak bahkan saat ia ketahuan bolos sekolah untuk menghadiri konser idolanya dulu sekali saat ia SMA.

Biasanya Ayah selalu memanggilnya 'Dek' atau 'Sayang' dengan begitu lembutnya. Tidak pernah sedingin tadi. Sesarat kecewa tadi. Kala mendapati lubang sedalam palung Mariana terbentuk di hatinya dengan menyakitkan.

"Apa yang dia katakan tadi benar?"

Kala tidak sanggup menganggkat kepalanya. Tapi ia perlahan mengangguk kecil. Hampir sehalus isyarat, seakan ia takut kepalanya akan terlepas dari engsel leher kalau ia mengangguk lebih jelas dari pada itu.

Dari seberang meja, bisa ia merasakan tarikan napas tajam Bunda. Terpukul. Sarat kesedihan. Dan tidak ada yang lebih Kala ingin lakukan selain meraung minta maaf pada kedua orang tuanya.

"Mau bagaimana lagi." Ayah mengehela napas berat. Terlihat menahan kecewa luar biasa namun berusaha terlihat baik-baik saja. Ia menoleh ke satu-satunya bukan-Adinata di meja itu. "Anak Muda, kamu sebaiknya cepat-cepat menikahi Kala, sebelum perutnya––"

"Aku nggak mau nikah." Entah mendapat keberanian dari mana, Kala menyela tanpa berpikir begitu telinganya mendengar kata 'menikah'. Ia mendongak dan keberaniannya mengkeret menyisakan rasa takut saat mendapati semua orang menatapnya kebingungan. "Maaf, Yah, tapi nggak akan ada pernikahan. Aku dan Damian bisa besarin Lil––maksudnya anak aku, tanpa harus jadi suami istri."

Ayah menatapnya seakan ia gila. "Ngomong apa kamu ini? Kalau mau membesarkan anak kalian dengan baik, maka pertama-tama berikan dia keluarga yang lengkap dulu."

Kala menggigit bibir. "Nggak bisa. Aku dan Damian nggak saling mencintai. Kita––"

"Drama apa lagi ini, Kal?" tukas Nakia lelah.

"Loh? Gue pikir dia pacar lo, Kal?" Brian memicing galak.

Mampus, salah ngomong, nambah rumit deh ini. "A-anu ...." Kala terbata mengarang alasan untuk menyelamatkan diri sekali lagi.

The Art of Becoming ParentsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang