27

5K 689 149
                                    

"Jadi di apartemen aku ada tiga kamar. Satu kamar tamu. Satunya nggak dipakai dan cuma buat gudang, tapi lebih luas. Nanti dibersihin buat jadi kamar Lilo. Lagian, itu sebelahan sama kamar utama—yang nantinya bakal jadi kamar kita, jadi lebih praktis kalau malem-malem Lilo kebangun nangis atau semacamnya."

Di sepanjang lorong lantai 27 menuju unit apartemen Damian, pria itu menjelaskan singkat situasi apartemen dan rencananya pada Kala yang berjalan di sampingnya. Kala hanya mangut-mangut dan mengangguk paham. Meski dalam hati berseri-seri seperti bocah yang diberi permen, mendengar gambaran masa depan Damian tentang kehidupan keduanya dan Lilo kecil mereka yang terdengar begitu hangat, begitu nyata.

"Aku harus siap-siap menyambut malam-malam tanpa tidur kayaknya," ringis Kala mengasihani diri sendiri.

Damian tertawa. "Kita," ralatnya. "Kamu nggak akan capek sendirian jagain Lilo. 'Kan ada aku. Kita bakal gantian kalau malem-malem Lilo kebangun. Kamu tenang aja. Kita jalanin bareng-bareng."

Bibir Kala mengulum menahan rekahan senyum. Kehilangan kata-kata untuk merespon Damian sehingga hanya berdehem dan mengalihkan pandangannya ke arah lain.

Mereka berhenti di unit apartemen 27 J, sebelum kemudian Damian memasukkan kode password-nya hingga terdengar bunyi pip nyaring saat pintu terbuka. Pria itu menahan pintu mempersilakan Kala masuk terlebih dulu.

Namun baru saja masuk di ruang tamunya, dahi Damian berkerut mengamati sekitar. "Ada Ibu," gumamnya tak jelas saat menyadari sandal rumahnya di rak berkurang sepasang—tandanya tengah dipakai, dan sebuah tas wanita yang ia kenali sebagai milik ibunya tergeletak di sofa.

"Heh?" Kala yang tengah mengamati sekeliling menoleh pada pria itu dengan mendelik kaget.

"Sumpah, aku nggak ngerencanain ini. Ibuku emang suka tiba-tiba ke apartemenku buat ngisiin kulkas atau ngirim makanan. Lagian kita ngerencanain ke sini juga dadakan, kan? Aku nggak sempet bilang apa-apa ke Ibu."

Kala menggigit bibir, tahu Damian tidak berkata bohong.

"Kamu mau balik aja, Kal? Nggak papa. Kamu boleh turun duluan, aku mau ketemu Ibu dulu sebentar—"

"Nggak."

Alis Damian berkerut bingung. "Kamu nggak mau turun sendiri?"

Kala berdecak pelan. "Aku nggak mau balik. Lagian udah nyampe sini," jelasnya menggeleng tenang. Sorot matanya menatap Damian serius. "Kita ketemu ibu kamu," lanjut Kala tegas, penuh tekad.

Damian mengerjap pelan menatap pemuda itu. Rasanya ada saja hal tentang Kala yang selalu mengejutkannya. Seperti membuka kado natal yang berisi hal-hal luar biasa.

"Oke," Damian tersenyum tipis. "Bentar, aku cari Ibu dulu. Mungkin lagi istirahat di kamar tamu."

Kala mengangguk dan menyaksikan Damian berjalan meninggalkannya memasuki apartemen lebih jauh. Sementara Kala mulai mengedarkan pandang mengamati tempat tinggal pria itu.

Berbeda jauh dengan apartemen mungil satu kamarnya, apartemen Damian benar-benar luas, mewah, dan fully furnished dengan tiga kamar. Apartemen itu memiliki desain minimalis modern yang serba abu. Di ruang tamunya, terdapat satu set sofa berwarna abu-abu dari Davinci, di depannya tampak angkuh terpasang HDTV 50 inchi yang mentereng lengkap dengan stereo set terbaru. Belum lagi dapur luas yang mengkilap dengan kitchen island mewah tanpa cela.

Kala berdecak takjub dalam hati. Rasanya tidak ada satupun benda atau sudut ruangan di apartemen ini yang tidak meneriakan 'aku-keren-ayo-pandangi-aku'.

Terlalu fokus mengamati sekitar, Kala tidak sadar Damian sudah menghampirinya lagi. Tidak sendirian, seorang wanita paruh baya dengan seraut wajah ramah nampak mengiringinya.

The Art of Becoming ParentsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang