6. A pair of wounds

63 5 0
                                    

"Dia hanya menunggu uluran tanganmu, bukan sekadar ucapanmu."








Di tengah perbincangan terdengar suara tawa dari seorang perempuan yang tak jauh dari keberadaan mereka, Gerry langsung menoleh ke sumber tawa itu.

"Kar..." sebut Gerry ketika mendapati Lia yang tengah tertawa lepas bersama kedua teman cowoknya.

"Hmm." Afkar mengudarakan asap rokok hendak menoleh.

Gerry menunjuk Lia dengan arahan kepalanya. Dari jarak yang tidak terlalu jauh terlihat Lia memakai kaos hitam, celana jeans robek di lutut, sepatu vans, rambutnya yang panjang terikat di belakang, dengan gaya duduk seperti cowok.

Soal Lia, tiba-tiba Afkar mengingat perdebatan di kampus tadi. Ia merasa menjadi manusia yang paling salah, seperti ingin menarik kembali setiap ucapan yang sudah ia katakan kepada gadis itu. Namun, Afkar tidak ingin dulu menghampiri Lia, karena dirinya belum mendengar cerita dari Salma.

"Udah ah, gue males lihat dia." Afkar menghela napas, kembali mengalihkan pandangannya pada Jeky dan Irham.

"Kar, lihatin siapa sih?" Jeky ikut menoleh.

"Lia," bisik Gerry dengan susulan tawanya yang pelan.

"Lia? Mana?" Irham mengedarkan pandangannya.

"Lo masih suka berantem sama dia, Kar?" Jeky cengengesan.

"Lia sekarang cantik yah." Irham asal bicara saja.

"Gue lagi nggak mau bahas Lia."Afkar menatap kosong segelas kopi di depannya.

"Lia dari dulu juga cantik, kalau dia suka ke gue. Gue deketin balik bro," canda Gerry matanya melirik ke arah Afkar yang tampak sedang sibuk mengaduk-aduk segelas kopi.

"Iya cantik tapi kelakuan kayak dakjal." celetuk Jeky.

"Hahaha." Mereka semua tertawa bersamaan.

Tiba-tiba ponsel Afkar berdering, ia menghentikan tawanya saat mendapati nama Salma di layar ponselnya.

Seketika membuat lelaki itu menghindar sejenak, kemudian menempelkan ponsel tersebut ke telinganya.

'Hallo Kak.'

'Lo mau ke rumah gue, atau gue yang kesana?'

'Gue ke rumah Kak Salma aja.'

'Gue tunggu ya.'

'Siapp Kak.'

Afkar menyudahi telepon dari Salma, begitu singkat obrolan antara keduanya. Lelaki itu kembali melangkah ke arah meja tadi, hendak mendaratkan bokongnya ke kursi, saat itulah adzan isya berkumandang.

"Ham, Jek. Setor dulu yuk sama yang di atas."

"Apaan anying? Setor apa?" Jeky tidak mengerti membuat dirinya mengernyitkan dahi.

"Shalat goblok." Gerry sedikit menertawai Jeky.

"Bisa to the point aja nggak sih Kar." Jeky menghela napas.

"Gue nyusul." Irham masih mengudarakan asap rokok.

Di kelompok itu hanya Gerry yang berbeda, Gerry adalah seorang non muslim, ia menganut agama Kristen Katolik. Namun, bukan berarti itu penghalang bagi mereka untuk berteman. Bahkan Gerry senang melihat ketiga temannya itu menjalankan ibadah tepat waktu, sama sebagaimana dirinya melaksanakan ibadahnya.

[××××]

Pukul sembilan malam Afkar menemui Salma hanya untuk sedikit berbincang sebentar. Afkar membawa dua bungkus martabak keju dan cokelat, ia berikan untuk Salma serta seisi orang di rumahnya.

A PAIR OF WOUNDSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang