37. A pair of wounds

51 5 2
                                    


"Membiarkan mu pergi adalah caraku menghindari rasa sakit pada akhir cerita kita."

🥀🥀🥀

Happy reading my readers.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

🌹🌹🌹








Terdapat lima tumpukan buku pada kursi panjang yang berada di atas rooftorp kampus, dengan sengaja membawanya dari ruang perpustakaan. Lelaki yang kini duduk sendiri di kursi panjang itu terlihat mempelajari beberapa buku yang menurutnya itu penting.

Semenjak dekat dengan waktu ujian tengah semester Afkar menjadi jarang berkumpul dengan kawannya, Lebih banyak membaca dan belajar yang akhir-akhir ini ia lakukan.

Buku tebal masih terbaca sampai akhirnya rasa kantuk menyerang, berulang kali ia menguap dengan mata sayu ia masih tetap membaca.

Rasa kantuk itu ternyata sulit di hindari, lelaki yang mengenakan kaos hitam tertidur pulas dengan posisi tubuh yang bersandar.

Ia benar-benar memejamkan matanya bahkan seseorang memanggil namanya pun tak membuatnya terbangun. Seorang perempuan yang sedari tadi memanggilnya itu mendekat lalu ia tersenyum saat menatap Afkar yang sudah terlelap.

“Afkar, lo kayaknya capek banget,” katanya yang masih berdiri di depan Afkar.

Ia menyisir pandangan ke sekitar, buku-buku yang berantakan itu cukup menarik perhatian dirinya hingga pergerakan tangan perlahan meraih  satu persatu buku tersebut.

Namun, seketika terdiam dan menghentikan pergerakan tangannya saat terdengar suara getar ponsel dari lelaki itu. Suara ponsel tersebut tak jauh dari jangkauannya.

Suara itu semakin membuat dirinya penasaran, terlihat nama perempuan yang menghiasi layar ponsel Afkar, tanpa menyentuh pun nama itu sudah terbaca jelas.

Terlalu lama bergetar membuat lelaki yang masih duduk sembari tidur itu terbangun, matanya terbuka perlahan. Terbidik seseorang dari pandangan yang masih buram.

“Lia,” sebut Afkar sembari menyempurnakan posisi duduknya.

Lia menghela napas lalu duduk di samping Afkar, matanya menunjuk ke arah sumber suara ponsel. “Angkat dulu Kar, siapa tau penting.” Lia tersenyum hangat.

“Ica?” katanya bernada pelan sembari menatap Lia.

“Iya angkat dulu, gue nggak akan denger kok.” Lia menutupi telinganya lalu beranjak dari duduknya, tetapi tangan Afkar menahan bahu gadis di sampingnya itu. Lia mendapati gelengan kepala dari lelaki yang sudah menempelkan ponselnya di telinga.

‘Hallo,’

‘Kak, lo lagi istirahat bukan?’

‘Iya, kenapa Ca?’

‘Lagi sama Kak Gerry nggak? Hp-nya nggak aktif.’

‘Nggak Ca, emang kenapa?’

‘Mau pinjem barang buat nanti sore, nanti kalau ketemu bilangin aja ya Kak.’

‘Iya siap Ca,’

‘Makasih Kak Afkar.’

Afkar mengakhiri panggilan tersebut, mendapati Lia yang tengah mengulum senyum dengan menopang dagu. Dahi Afkar mengernyit menatap Lia tanpa arti, lelaki itu tiba-tiba merangkul bahu Lia agar mendekati kepada tubuh dirinya.

“Cerita dong,” goda Lia mencolek dagu Afkar.

“Cuma temen, Ya.”

“Yakin?”

A PAIR OF WOUNDSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang