11. A pair of wounds

61 3 0
                                    

"Percayalah, manusia tau cara meletakkan rasa sayangnya, meski dengan cara yang berbeda-beda."







Lia menghela napas, kakinya berjinjit berusaha menggapai sebungkus biskuit cokelat yang kini berada pada genggaman Afkar.

Lelaki itu tertawa memperhatikan Lia kesulitan menjangkau tangan dirinya.

"Lo lucu deh, gemes gue." Afkar masih cengengesan menaikkan pergelangan tangannya semakin tinggi agar tidak mudah di gapai oleh Lia.

Gadis itu menarik napas panjang lalu di hembuskan dengan kasar, matanya mendelik sembari menggertakkan gigi. Lia belum bicara sepatah kalimat pun.

"Lo bisa nggak tiap hari gini?" Afkar menaik turunkan kedua alisnya secara berulang kali.

"Bacot ah anjing, sini gue laper Afkar." Lia berdecak kesal ketika ia berhenti menjangkau biskuit pada genggaman Afkar.

"Lo belum makan?" Afkar menurunkan tangannya lalu menyodorkan sebungkus biskuit itu kepada Lia.

"Lia, gue nanya."

"Iya Afkar, gue belum makan. Kenapa? Lo mau teraktir gue?"

"Kalau mau ayo gue teraktir, mau kemana, sayang?" tubuh lelaki itu sedikit membungkuk, membisik tepat di telinga Lia.

"Dih, sayang sayang." Lia tertawa geli.

"Nggak apa-apa kali yang, hahaha." Afkar menyentuh puncak kepala Lia.

"Ngopi yuk?" ajak Lia, ia melingkarkan tangannya pada bahu Afkar.

"Ayoooo."

Sehabis sepulang kampus, Afkar dan Lia menyempatkan ke kafe yang tak jauh sekitaran kampus.

Di sepanjang koridor mereka saling merangkul sembari melemparkan sebuah lelucon.

"Ya," panggil Afkar.

"Hmm." Lia menaiki motor vespanya.

"Gue mau beli mie, yang pedes itu loh. Apa sih namanya?"

"Mie kuah? Mie goreng?" Lia tetap menunggu cerita singkat Afkar.

"Sam---" Afkar menggantungkan ucapannya dengan sengaja.

"Yang?" Lia mencoba melanjutkan potongan kalimat dari Afkar.

"Iya kenapa, sayang?" Afkar menoleh kepada Lia yang kini sudah menaiki motor mereka masing-masing.

Lia menggelengkan kepalanya sebelum akhirnya menghidupkan mesin motor. "Lo kelamaan jomblo, cari cewek cepet. Gue khawatir, bulan depan lo malah jadi psikopat." Lia tertawa pelan.

[××××]


Gladys kini semakin dekat dengan Bara, keduanya tampak saling bertukar cerita. Di satu sisi Bara berusaha membuat Gladys tertawa dengan segala tingkah konyolnya, di sisi lain Gladys sering menjadi pendengar yang baik bagi Bara.

Gladys banyak bercerita tentang dirinya dengan Afkar, lelaki yang sangat super duper dingin ketika berada di dalam rumahnya.

"Kak Bara." panggil Gladys yang tengah duduk berdua di sebuah halte depan sekolahnya.

"Iya?"

"Kak Afkar kapan ya sayang sama Gladys?"

Bara menundukkan kepala, senyuman tipis terbit di bibir lelaki itu. Bara menatap kedua bola mata cantik gadis itu, ia menyentuh puncak kepala Gladys.

A PAIR OF WOUNDSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang