25. A pair of wounds

52 5 0
                                    

 
"Kalau seandainya bukan aku yang jadi pacarmu, mungkin kamu tidak akan merasa lelah dalam berjuang."




















Langit tidak lagi menurunkan hujan melainkan menunjukkan bulan dan bintang yang cantik. Seandainya Lia hari itu bersamanya, mungkin Afkar akan membandingkan gadis itu dengan bintang indah di langit sana.

“Lia... Gue kangen, masa lo nggak kangen gue?” Afkar bergumam sendiri hendak dirinya menjatuhkan tubuhnya ke kasur.

“Lo marah gini amat,” ucapnya sembari menatap langit kamar.

Afkar memejamkan matanya, tersirat nama Gladys pada pikirannya. Panggilan telepon adiknya itu ia abaikan berkali-kali.

“Itu anak mau ngapain ya.” Terlintas rasa penasaran seusai menghubungi dirinya sebanyak lima belas kali.

Lelaki itu bangkit dari tidurnya, lalu mengecek beberapa log panggilan masuk dan juga beberapa pesan masuk yang belum ia baca.

BARA

‘Kar adek lo kemana sih?’

‘Kar, adek lo ngambek ke gue.’

‘Bantuin gue kenapa, gue ke rumahnya. Malah dapet omelan emak tiri lo.’

SETAN

‘AFKAR! PULANG! ADEK KAMU SAKIT.’

‘ANAK BIADAB! GOBLOK!’

GERRY

‘Lo udah ketemu sama Lia? Sorry gue nggak bisa nyusul hari ini tapi gue usahain besok ke sana, Kar.’

GLADYS

‘Kak, tolongin Gladys.’

‘Angkat telepon Gladys, Kak '

 

Afkar membaca secara singkat pesan masuk yang belum sempat ia baca, lelaki itu hanya merespon salah satu pesan  tersebut, ia hanya membalas pesan dari Bara.

AFKAR

‘Lo urusin aja sendiri masalah lo sama Gladys, dia lagi sakit, jangan ganggu. Positive thingking Bar.’

 

[××××]


Terik mentari menyinari seluruh kota Bandung, itulah cuaca yang di harapkan Afkar. Ia bisa lebih bebas mencari Lia yang tak kunjung memberi kabar. Menurut alamat yang di beri Renatta, Lia berada di rumah lamanya.

Rumah semasa kecilnya itu berada di daerah Dago, perkiraan tak jauh dari kediaman Afkar saat itu.

Semilir angin menyapu permukaan wajah lelaki yang kini sedang melaju menuju perumahan. Hanya membutuhkan waktu dua puluh menit Afkar tiba.

Lalu lalang orang sekitar memperhatikannya, hingga membuat Afkar menghampiri salah satu dari mereka.

“Maaf teh, tau alamat ini nggak?” tanyanya.

“Aa tinggal lurus terus belok, nanti disana ada pertigaan belok kiri lagi aja,” jawab perempuan yang sedang menggendong bayi.

“Makasih. Teh,” jawabnya.

Afkar memicingkan matanya dari kejauhan, memperhatikan gadis yang tengah menjemur pakaian di luar halaman rumahnya.

Afkar sedari tadi duduk di atas motornya sembari memandang gadis itu, sebuah senyuman merekah di wajahnya. 

Ia melipatkan kedua tangan di dada, lelaki itu akhirnya bisa bernapas lega, ternyata Lia masih terpantau baik-baik saja. Namun, kenapa ia harus pergi? Kenapa ia tidak membalas pesannya? Mengabaikan telepon darinya?

“Lia,” panggil Afkar di susuli lambaian tangan kepada gadis itu.

Tanpa berpikir panjang, Afkar menghampiri Lia di perbatasan gerbang yang terkunci.

“Afkar? Ngapain?” tanya Lia sembari membuka gerbang.

“Kenapa chat gue nggak lo baca? kenapa panggilan gue nggak lo angkat? Kenapa ngehindar? Kenapa pergi? Lo marah ke gue? Iya? Kenapa sih Lia, cerita bisakan? Okay gue tau, gue—“ ucapannya terpotong.

“Stop, gue nggak mau debat.”

“Tapi gue khawatir Lia, lo ngerti nggak sih?”

“Masuk, masuk ayooo, gue bikinin lo makanan kesukaan lo, okay?” Lia menarik pergelangan tangan lelaki itu.

Dengan tubuh yang sedikit kelelahan ia menghebuskan napasnya, menatap Lia yang sampai detik ini tidak mau memberi alasan atas pertanyaan yang sempat ia lontarkan.

Gadis itu tampak menyibukkan diri dengan membereskan rumah, meskipun tidak terlalu berantakkan seperti kamar Afkar di rumahnya.

“Ada pacarnya loh disni, masih nggak mau ngomong?”

“Kenapa Kar? Gue lagi beresin ini dulu.”

“Roti buatan lo nggak enak, gue nggak mau makan,”ucapnya lalu kembali memandangi gadis itu.

“Apa lo bilang? Nggak enak? Nggak ngehargain banget sih lo, gue udah capek-capek bikinin roti kesukaan lo, responnya kayak gini?” tanya Lia yang kini sudah berada di hadapan Afkar.

“Sama dong, gue jauh-jauh dari Jakarta ke Bandung buat nyamperin lo, malah dapet respon kayak gini? Nggak nyadar lo,” ucap Afkar memajukan sedikit wajahnya ke arah gadis yang masih menatapnya jengkel.

“Gue nggak nyuruh lo dateng kesini kok.” Lia membuang muka, lalu mengalihkan pada sudut ruangan.

“Gue juga nggak nyuruh lo bikinin roti buat gue,”balas Afkar, seulas senyuman di ujung bibirnya tergurat.

“Nyebelin lo,” jawabnya.

“Lo juga nyebelin.” Afkar menjetikkan jarinya pada kening Lia dengan sengaja.

Lia tercengang tak terima, satu hantaman mendarat di kepala Afkar. “Dasar cowok nyebelin, gue salah milih lo bangsat!”

“Lia udah Lia, gue kasih ketek nih.” Afkar menyentuh ketiaknya yang sedikit lengket itu lalu menempelkannya pada hidung gadis yang menimpa tubuhnya.

“Sialan,” ucap Lia memukul lengan lelaki itu berkali-kali.

..

..

...

TERIMAKASIH BANYAK
JANGAN LUPA VOTE YA,
TETAP LANJUT KAN?

(@maissylst__)

A PAIR OF WOUNDSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang