34. A pair of wounds

65 6 2
                                    

"Seseorang akan merasa aman dan tenang saat mendapatkan pelukan tulus."























Salma memeluk Afkar begitu erat, di sebuah taman yang tak jauh dari keberadaan kampus.

Rupanya perempuan itu sedang menumpahkan segala kesedihannya, semua rasa yang selama ini ia sembunyikan meledak dengan sendirinya.

Afkar berusaha memahami apapun yang terasa begitu menyakitkan bagi Salma.

“Gue sekarang benci banget sama gue yang sekarang,” tutur Salma pada pertengahan cerita.

“Gue paham Kak, lo ngelakuin gini karena lo berhutang budi sama orang tua nya Kevin. Lo nggak boleh benci sama diri lo sendiri Kak, lo berhak bahagia setelah ini. Semoga aja Kevin nyesel ya Kak.” Tangannya menggapai puncak kepala perempuan itu yang masih menyembunyikan wajahnya di dada bidang Afkar.

“Terima kasih ya, lo udah baik ke gue. Lia beruntung banget bisa milikin lo Kar.” Salma mendongak ke arah wajah lelaki di depannya, ia melepaskan pelukannya dengan Afkar.

“Gue yang beruntung, bukan Lia Kak.” Afkar terkekeh, tangannya menggaruk tengkuk kepala sebagai tanda salah tingkah.

Dari kejauhan Salma memperhatikan Lia yang sedang duduk sendiri sembari memainkan kerikil oleh kaki yang di balut sepatu.

Kepalanya tertunduk, mata gadis itu menatap setiap kerikil yang tak beraturan. Tatapan Lia kosong seperti ada hal lain yang ia pikirkan.

“Kar, Lia tuh.” Salma sedikit menggerakkan kepalanya untuk mengarah pada Lia.

“Iya ya,” jawabnya.

“Lia lagi butuh lo, samperin gih.” Salma tersenyum tipis.

“Kak Salma pulang sama siapa?” tanya Afkar yang tidak tega meninggalkan perempuan itu sendiri, meskipun dalam benaknya lebih tidak tega Lia yang melamun sendiri.

Salma berdecak kesal sembari berucap, “Lo samperin Lia aja sana, gue ada yang jemput kok.”

Afkar melangkah pergi setelah dirinya menganggukkan kepala. Ia perlahan mendekat ke arah Lia, yang kini sudah tak menundukkan kepala.

“Haiii mantannya Afkar Pradipta,” ujar Afkar secara tiba-tiba duduk di samping Lia.

Lia terperanjat menatap Afkar sekilas, gadis itu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Namun, wajah Lia mengundang perhatian Afkar sehingga lelaki itu menarik dagu Lia untuk mengarah kepadanya.

Lagi dan lagi, luka memar itu tergambar di area wajah Lia. Pelipisnya berubah menjadi warna ungu dan itu merupakan luka yang Brata buat lagi dengan sengaja.

“Kenapa lagi? Bokap lo?” tanya Afkar, tangannya masih menempel pada dagu gadis itu.

“Males bahas Kar,” ucap Lia menepis pergelangan tangan Afkar.

Dahi Afkar mengernyit, ia tidak melepaskan pandangannya terhadap Lia. Menatap gadis itu lebih lama adalah salah satu cara dirinya membaca kesedihan seseorang.

“Gue nggak bisa diam, Ya.” Kepalanya menggeleng setelah menatap Lia begitu prihatin.

“Lah, itu lo lagi diem. Kar,” katanya.

“Gue nggak bisa diem kalau lo di bikin kayak gini terus Liaaa,” jawabnya dengan akhiran hela napas.

“Lo mau ajak gue kemana Kar sore ini, lo bisa kan bikin gue lupa sama luka ini?” Lia menggenggam telapak tangan Afkar, berharap ia bisa mengalihkan topik pembicaraan yang belum usai.

A PAIR OF WOUNDSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang