42. A pair of wounds

73 4 1
                                    

"HUJAN TAU CARA MEMBERIKAN KEINDAHAN. BEGITU PUN AKU, TAU CARA MERINDUKAN MU PALING SEDERHANA."





🧡🧡🧡🧡

HAPPY READING

🤍🤍🤍

Terhanyut pada semilir angin yang menerpa permukaan wajah Lia, lampu sudut kota menghiasi sepanjang jalan raya. Jakarta tidak pernah sepi, Jakarta selalu ramai.

“Kar, bulan depan lo wisuda kan?” tanya Lia di atas motor.

“Iya, kenapa? Takut nggak bisa ketemu gue lagi ya, hahaha.”

“Nggak, gue Cuma mau tanya lo mau hadiah apa dari gue?” tanya Lia.

“Ha?”

“Lo mau apa?” tanya Lia kembali.

“Gue nggak akan minta apapun dari lo Lia,” ucapnya.

“Kenapa?”

“Karena semua yang udah lo kasih itu udah cukup.” Afkar tersenyum tenang.

“Apa? Nggak denger.”

“Karena semua yang udah lo kasih itu udah cukup, paham sayang?”

Lia tak membalas, gadis itu dengan sengaja menoyor kepala Afkar dengan pelan.

[××××]


Malam itu makan bersama keluarga tampak terasa canggung, satu gigitan daging panggang mereka lahapkan hanya sekadar mengalihkan pikirannya. Namun, Gladys tak membiarkan keheningan tercipta.

“Pah, Kak Afkar hebat tau. Dapet nilai tinggi terus, Papa tau nggak Gladys sekarang punya pelindung di luar sana. Kak Bara sama Kak Afkar,” ceritanya.

Afkar menatap Gladys tanpa seucap kata, sedangkan Laras menatap Afkar dengan rasa tak sukanya.

“Pah, waktu Kak Afkar nemuin pelaku pelecehan itu, dia yang udah bela-belain Gladys loh sampe muka nya babak belur. Kak Afkar itu sayang banget sama Gladys, Papa nya aja nggak tau.” Gladys kembali mengunyah.

“Nggak usah berlebihan, itu emang udah tugasnya.” Laras merotasikan bola matanya.

“Gladys Cuma mau nunjukin kalau penilaian kalian terhadap Kak Afkar itu salah, yang kalian anggap sebagai beban dalam keluarga, anak yang nggak tau diri atau...” ucapannya terpotong oleh Afkar.

“Nggak usah di lanjut Dys, percuma.” Afkar melarutkan makanan dalam kunyahannya kemudian beranjak dari kursi.

Lelaki itu seketika berdiri membuat peralihan tatapan mereka mengarah kepadanya. Namun, sepasang mata yang Afkar tatap hanyalah Refal.

Pria tua itu sedari tadi lebih banyak diam, tidak seperti biasanya yang terus mengoceh tanpa henti.

“Sampai kapan pun peran gue hanyalah anak yang nggak tau diri, mau sebaik apapun gue disini, nggak akan bikin keadaan kembali kayak dulu. Dys, gue balik.” Afkar menarik pergelangan tangan Lia hingga gadis itu mengikuti langkahnya.

Lelaki itu semakin mengeratkan genggaman tangannya, pandangan tidak menoleh kemana pun.

Sudah berada di luar restoran Lia melepaskan genggaman tersebut, membuat lelaki itu menghentikan langkahnya.

“Kenapa?” tanya Afkar memutarkan tubuhnya ke arah Lia.

“Gue kasihan sama Gladys,” ucap Lia menghela napas.

A PAIR OF WOUNDSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang