4. A pair of wounds

83 5 0
                                    

"Semua terjadi sesuai skenario Tuhan."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Di jam pulang kampus, Afkar menyempatkan diri sejenak ke atas rooftorp. Ia mendengar dari kejauhan suara merdu dari seorang perempuan yang tengah bernyanyi, kedengarannya merdu, Afkar berdiam sejenak sebelum akhirnya ia kembali melangkah.

Ia membuka pelan pintu besi menuju rooftorp, terlihat seorang perempuan tengah duduk sembari bernyanyi.

So, Before you go ...

Was there something I could've said

To make it all stop hurting?

It kills me how your mind can make you feel so worthless, so before...

Beberapa lirik lagunya terdengar  sehingga membuat Afkar semakin mendekat.

"Lia," panggil dirinya, nyanyiannya langsung terjeda kemudian gadis itu menoleh dengan cepat.

"Hahahha. Si barbar." Afkar duduk di samping Lia.

Lia menghela napas sebelum akhirnya mencubit lengan lelaki itu.

"Lo ngapain disini????" Afkar menghentikan pergerakan tangan Lia.

"Aww... Sakit Lia ahh!!"

"Pergi nggak lo!" usir Lia yang memberi jarak diantaranya.

"Nggak mau! Ini tempat gue, lo yang harusnya pergi." Afkar menyandarkan tubuhnya di kursi panjang itu, lelaki itu menoleh ke arah Lia.

"Seenak jidat lo."

"Btw, suara lo bagus." Afkar tak segan memberi sanjung puji kepada Lia.

Lia mengedarkan pandangan ke sekitar, gadis itu menundukkan kepala tanpa ekspresi yang ia tunjukkan.

"Kenapa? Lo pasti seneng gue puji."

"Gue nggak suka di puji Afkar!" Lia dengan cepat berucap.

Sikap Lia kali itu membuat Afkar tidak mengerti, sosok Lia dimata Afkar adalah gadis yang sulit di pahami, tetapi entah apa yang membuat dirinya merasa penasaran dengan Lia.

[××××]

Suara tawa yang menghangatkan rumah Afkar terdengar dari pintu luar, dirinya yang sudah sedari tadi diam di balik pintu membuat lelaki itu diam sejenak.

Suara candaan dari Gladys mampu membuat Refal dan Laras tertawa khalayak keluarga yang harmonis.

Afkar menghela napas sebelum akhirnya ia masuk, tidak memasang ekspresi apapun, tidak ada ucapan apapun yang ia suarakan. Pandangan Gladys teralihkan ketika melihat Afkar tengah melewati sofa yang mereka duduki.

"Kak, capek nggak? Mau Gladys bikinin susu?" Gladys mendekat ke hadapan Afkar.

Afkar sekedar menoleh, kemudian berlalu. Sikapnya yang begitu dingin mampu mengundang emosi Refal. Pria tua itu menghampiri kamar Afkar.

"AFKARRRR!"

"AFKAAARRR!"

"APA?" Afkar membuka pintu kamarnya seusai menaruh tasnya.

"DARI MANA KAMU? JAM SEGINI BARU PULANG! NONGKRONG TERUS! MAU JADI ANAK GELANDANGAN KAMU, YANG NGGAK PUNYA MASA DEPAN. IYA?? PULANG NYELONONG KE KAMAR AJA, NGGAK PUNYA SOPAN SANTUN KAMU!" teriak Refal dengan uratnya merentang di leher, di kening apalagi di tangannya.

Mengerikannya Refal tidak pernah mau mendengar cerita dari Afkar. Pria tua itu tak mendapatkan respon dari Afkar, membuatnya melayangkan tamparan keras tepat di pipi kanan dan kiri secara berulang kali.

Afkar masih belum merespon, ia hanya mendengus kesal menatap mata Refal yang belum puas melihat dirinya tersiksa.

"Saya nyesel punya anak seperti kamu!"

"Apalagi saya? Lebih nyesel!" Afkar mendekatkan wajahnya melihat sang Ayah yang semakin emosi.

"KELUAR KAMU!! MALAM INI TIDAK USAH TIDUR DISINI!!"

"PAAAHHH..." Gladys mendekat.

"Gladys, kenapa sayang? Kamu temenin mama mu ya."

"Nggak! Papa nggak boleh usir kakak, kak Afkar baru pulang Pah. Dia butuh istirahat."

"Tapi dia kurang ajar Gladys."

Tidak ingin menyaksikan dialog antara Refal juga Gladys, Afkar akhirnya memutuskan untuk pergi dari rumah itu untuk sementara waktu. Entah, kemana ia akan pergi. Yang jelas malam itu ia tidak ingin tidur di kamarnya.

Mendapati Laras yang duduk manis sembari menyantap buah-buahan dengan senyum menyeringai menatap miris seorang Afkar.

[××××]

Afkar mendapatkan perlakuan baik dari orangtua Gerry, mereka memberikan apa yang memang Afkar butuhkan selama ini. Moment hangat keluarga Gerry, membantu ingatan Afkar tentang keluarganya yang pernah harmonis.

Afkar merindukan keluarganya yang dulu, selagi dirinya berusia 5 tahun. Semasih bisa merasakan sebuah sentuhan lembut dari kedua orangtuanya.

"Afkar, apa nggak sebaiknya kamu lapor polisi aja ya." Sinta yang sudah tahu keadaan keluarga Afkar sejak dulu, selalu memberi saran seperti itu.

Agus berdehem memberi kode kepada Sinta. "Bun, nggak usah gitu. Biarin Afkar makan aja dulu."

Afkar hanya tersenyum menutupi setiap luka di batinnya.








Di lanjut boleh kali hihi

Jangan lupa votenya ya,
Makasih sudah mampir.
Boleh juga kali di follow akun ini
Boleh juga berteman di sosmed Aku.

Ig. @maissylst__
Twitter @maissylst___

(Afkar Pranata Bagaskara.)
(Gracelia Putry Maretta.)

Eittss, sebelum lanjut.
Aku mau kenalin yang namanya Gladys.
Orangnya cantik kok, lucu, penurut juga :)

Orangnya cantik kok, lucu, penurut juga :)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Cantik kan? Nyebelin ga ya Gladys ini?

A PAIR OF WOUNDSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang