22. A pair of wounds

77 6 0
                                    

"DEFINISI KEBAHAGIAAN ORANG ITU BERBEDA, KALAU KAMU TIDAK MENEMUKANNYA DALAM KELUARGA, MUNGKIN KAMU BISA MERASAKANNYA PADA ORANG YANG PALING SPESIAL."























Bersandar di bahu seseorang sembari
menatap langit penuh bintang adalah posisi paling nyaman, sembari membicarakan apapun agar terhanyut dalam setiap kalimatnya.

“Afkar," kata gadis yang tengah menempelkan kepalanya di bahu lelaki itu.

“Iya?” Afkar sedikit menggerakkan kepalanya.

“Kening lo berdarah, terus tangan lo juga ke gores pisau, yakin nggak mau di obatin?” tanya Lia lalu mengangkat kepalanya untuk menatap wajah Afkar yang begitu terlihat miris.

“Nggak usah, gue udah nggak peduli sama luka ini.” Afkar dengan cepat menghapus luka di keningnya oleh telapak tangan, seperti tidak ada rasa sakit.

“Nggak bisa! Gue harus ngobatin lo, lo bisa infeksi Afkar. tunggu disini.” Lia beranjak pergi sekedar membeli obat luka dan plester.

Sebetulnya Lia sudah ingin mengobati luka Afkar sedari tadi, tetapi lelaki itu menepis pergerakkan tangan Lia. Ia benar-benar menolak untuk di obati, sehingga membuat Lia berdecak kesal.

Ia kembali sekaligus menggenggam dua botol air mineral, gadis itu dengan cepat berjalan ke arah Afkar yang kini tengah memandang langit.

“Kar, minum nih.” Lia menyodorkan satu botol air mineral ketika dirinya sudah duduk di samping Afkar.

“Thank you pacarnya Afkar.” Lelaki itu tersenyum tipis, tangannya menyentuh puncak kepala Lia dan membelai lembut penuh kasih sayang.

“Mana luka lo?” Lia masih melihat darah di keningnya terus mengalir.

Aroma cokelat dari gibasan rambutnya terhirup oleh lelaki itu, aroma yang selalu membuat Afkar rindu kepada Lia.

Selepas dari kening, kini berganti ke tangan lelaki itu. Darahnya pun belum juga mengering, terus keluar meski sedikit.

Bibir gadis itu terdengar meringis melihat goresan luka akibat pertikaian dengan Brata.

“Kar, sorry ya.” Sejujurnya Lia sangat merasa tidak enak dengan hari itu, rasa bersalahnya selalu membuat Lia ingin terus mengobati Afkar sampai rasa sakitnya menghilang, walaupun itu tidak mungkin menghilangkan rasa sakit dengan cara instan.

“Lo nggak usah ngerasa bersalah gitu, kita disini sama-sama jadi korban, kita disini sama-sama punya luka, terus apa yang bikin lo ngerasa bersalah? Lebih baik lo cerita, kenapa sore tadi lo bisa mau bokap lo nekat?” Afkar berusaha mungkin untuk tidak membuat Lia merasa bersalah.

“Dia nggak mau gue ikutan kompetisi nyanyi.” Lia mengedarkan pandangan hingga fokus pada satu lampu yang bersinar terang di penjuru taman.

“Lah, kan bukannya di izinin?”

“Itu Cuma akalan Mama aja, biar gue mau pulang ke rumah.” Lia menghela napas begitu berat.

“Lo jangan sedih gitu, apa gunanya gue disini kalau nggak bikin lo happy. Senyum ya sayang.” Tangan Afkar menaik, lalu mencubit pangkal hidungnya.

“Lo sendiri kenapa?”

“Kejedot pot bunga yang di depan rumah.” Afkar cengengesan, tetapi ia tak ingin meneruskan ucapannya. Afkar lebih memilih tidur di pangkuan paha milik Lia.

“Gue mau tidur sebentar ya, Lia.” kata lelaki yang sudah mendaratkan kepalanya di paha Lia. Gadis itu tersenyum tipis menatap Afkar yang kini sudah memejamkan matanya.

A PAIR OF WOUNDSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang