Talk

48 13 0
                                    

"Seungkwan, kau pernah merasa lelah saat membantu temanmu, tidak?"

Sehwi tiba-tiba bertanya kepada Seungkwan yang tengah menyantap makan siang di hadapannya dengan penuh nikmat, gadis itu memandang ujung sumpitnya yang meraih kimchi dalam nampan, melahapnya lalu menatap Seungkwan yang tergugah karena Sehwi bertan...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sehwi tiba-tiba bertanya kepada Seungkwan yang tengah menyantap makan siang di hadapannya dengan penuh nikmat, gadis itu memandang ujung sumpitnya yang meraih kimchi dalam nampan, melahapnya lalu menatap Seungkwan yang tergugah karena Sehwi bertanya hal yang terdengar cukup serius kepadanya. Sudah beberapa minggu ini Seungkwan mencoba mendekati Sehwi dan baru kali ini gadis itu mengajaknya bicara lebih dulu di luar kerjaan mereka.

"Em... ya, tentu saja! Aku manusia, Kak. Tanganku tidak sebesar Tuhan yang bisa membantu siapa pun." Kata Seungkwan bersemangat dan Sehwi mengangguk-anggukkan kepala mahfum. Sontak Seungkwan tersadar akan sesuatu, wajah pria itu berubah khawatir memandang Sehwi yang kembali fokus dengan makan siangnya. "Tentang... temanmu itu ya, Kak?"

Agak berat untuk menjawab pertanyaan retoris Seungkwan, tapi Sehwi tidak bisa berbohong dan ia hanya berdehem sembari menganggukkan kepalanya sekali lagi.

"Pasti berat ya, Kak." Kata Seungkwan sambil menghela napas pelan. Pria itu ingin sekali menepuk-nepuk salah satu lengan Sehwi yang ada di atas meja, tapi ia menahan diri. Takut dikira tidak sopan, atau kalau ia melakukannya Sehwi akan menamparnya di tempat.

"Kau tahu? Aku ini... cukup keras kepala dan idealis. Sifatku tidak begitu baik, makanya aku malas berhubungan dengan siapa pun." Jelas Sehwi teramat santai, berbanding terbalik dengan Seungkwan yang hampir tersedak makanan. Lagi-lagi Sehwi berbicara lebih dulu, hal yang serius pula. Seungkwan tetap diam, mendengarkan dengan khidmat seakan tidak ingin kelewatan satu helaan napas pun dari Sehwi.

"Tapi, sejak kuliah aku jadi dekat dengan sahabat-sahabatku ini. Jujur, aku merasa cocok dan merasa pede bisa memiliki teman setelah sekian lama. Dan tiba-tiba... ya... kau tahu, pada dasarnya aku memang lebih baik hidup sendiri saja."

"Kak," Seungkwan menyela. Ia tidak suka mendengar opini Sehwi tentang dirinya sendiri tapi Sehwi mengangkat salah satu tangannya, kode agar Seungkwan tetap diam.

"Aku tahu, pandanganku mungkin salah. Tapi, Seungkwan, aku memang sahabat yang buruk. Aku terlalu keras kepada mereka--tapi aku tidak bisa merubahnya."

"Bisa."

Sehwi nyengir. Makanannya sudah habis dan ia menggelengkan kepala atas ucapan Seungkwan tanpa melihat pria berkemeja itu. "Tidak, Seungkwan. Aku tidak ingin berubah. Kalau tidak begitu, ia tidak akan pernah sadar."

"Kak..."

"Makanya, Seungkwan... kau bisa berhenti mendekatiku. Aku... tidak cukup baik... dalam berhubungan." Kata Sehwi dengan senyum yang dipaksakan. Ia lalu berdiri membawa nampan makan siangnya ke sebuah tempat yang memang disediakan untuk menaruh nampan bekas di kantin kantor mereka, dan melanjutkan langkah keluar dari kantin meninggalkan Seungkwan yang turut berdiri, mengejar Sehwi yang tampak tidak peduli dengannya.

~~~

Sehwi memang tidak pernah berniat menikah, tapi kalau takdir membawanya ke jenjang itu, ia pun tidak ragu untuk melakukannya. Bagi Sehwi, hidup itu penuh dengan ketidakpastian tapi untuk urusan diri, semuanya harus pasti. Seperti ingin menjadi apa, ingin melakukan apa atau ingin memiliki sifat yang bagaimana. Untuk itu, Sehwi memilih untuk menjadi sosok yang keras kepada diri sendiri dan orang yang ia sayang. Hidup, bagi Sehwi, tidak bisa dijalani dengan lembut. Ia harus keras kepada diri sendiri untuk bisa bertahan. Dan begitu pula ia kepada sahabat-sahabatnya. Terutama kepada Yujin yang masih mengungsi di rumah Mina.

Yujin adalah anak bungsu. Sifatnya manja dan tidak pernah bisa bertahan dengan kata-katanya sendiri. Gampang goyah sampai Sehwi kesal setiap mendengar curhatan Yujin tentang banyak hal. Sudah ada banyak masukan yang ia berikan kepada Yujin, tapi tidak pernah didengar oleh sahabatnya itu. Biasanya Yujin baru sadar beberapa tahun kemudian, setelah kejadian buruk menimpanya. Seperti perceraiannya dengan Seungcheol.

Mulut Sehwi pun sudah berbusa-busa menyadarkan Yujin tentang red flags yang ditemukan Sehwi dalam diri Seungcheol. Tapi perempuan itu tetap termakan cinta, sampai buta. Hingga pada akhirnya Yujin dan Seungcheol bertengkar hebat saat mereka masih berpacaran, berakhir dengan kata putus yang hanya berlaku selama seminggu. Awalnya Sehwi merasa senang karena Yujin bisa lepas dengan pria brengsek itu. Kesenangan yang sirna, tergantikan rasa tidak peduli karena Yujin malah kembali berpacaran dengan Seungcheol.

Sejak saat itu Sehwi tidak peduli lagi dengan kisah percintaan Yujin. Ia masa bodoh, tapi tetap berteman dengan perempuan itu sampai Yujin menikah.

"Aku tahu, kau pasti lelah." Kata Taehee memecahkan lamunan Sehwi yang membawanya berkelana ke masa lalu.

Taehee mengenakan piyama berwarna biru tua, memegang gelas soju yang sudah kosong isinya. Keduanya duduk berhadapan di meja makan apartemen Sehwi. Berbincang sambil minum Soju yang dibeli Tahee tadi sore saat menunggu Sehwi pulang kantor.

Pada akhirnya Sehwi mengajak Taehee menginap di apartemennya selama semalam, sebelum gadis itu bertemu dengan Yujin esok di rumah Mina. Sehwi tentu tidak ingin membiarkan Taehee luntang-lantang di Seoul. Apalagi Taehee ke Seoul dari Busan, sengaja mengambil cuti, hanya untuk bertemu dengannya dan Yujin yang tengah bertikai. Sehwi kalau jadi Taehee, pasti enggan melakukannya. Cuti terlalu berharga untuk hal-hal seperti ini.

"Kau tahu aku tidak suka sekali dengan Seungcheol, kan, Taehee?" Tanya Sehwi kemudian menghela napas, menyesap Sojunya sedikit-sedikit.

"Kita semua membencinya." Taehee mengoreksi.

"Harusnya kita bersyukur, setidaknya Yujin sudah berani mengambil langkah ini. Bercerai bukan hal yang mudah, Sehwi. Ini satu cara yang bisa membuktikan kalau Yujin sudah cukup sadar kalau Seungcheol bukan yang terbaik." Jelas Taehee lagi, membungkam Sehwi yang meraih botol Soju untuk menuangkan isinya ke dalam gelas Taehee.

"Aku pun tidak mungkin bisa seberani Yujin." Tambah Taehee sambil menyesap Sojunya.

"Ya. Aku pun." Sehwi mengakui dengan rahang mengeras. Agak sulit untuk berkata jujur untuk satu hal ini, karena Sehwi punya pendirian yang berbeda dari Yujin dan teman-temannya--tapi tidak menutup kemungkinan kalau ia tidak bisa melalukannya pula.

"Aku akan coba bicara pada Yujin besok." Ujar Taehee, tidak diindahkan Sehwi yang kembali nyengir.

"Ya, coba saja. Aku kalau jadi Yujin sudah malas berhubungan dengan diriku sendiri, sih."

"Masalahnya kau bukan Yujin." Taehee mendengus, melempar tutup botol Soju kepada Sehwi yang menangkapnya dengan mudah menggunakan salah satu tangan.

"Ya. Aku memang bukan Yujin."

"Dan Yujin tidak se-hopeless dirimu." Kata Taehee lalu terkekeh, mencemooh Sehwi yang hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala heran.

Thank you for reading! If you like it don't forget to like and comment ^^

Bestfriend [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang