(1) Argandra dan Hitamnya

1.8K 118 34
                                    

Hujan di malam hari yang sepi, banyak cerita yang terpatri tak mampu terucapkan walau dalam satu diksi. Air yang menetes pelan dari jendela kaca menjadi saksi bisu, bahwa detik ini ada retak yang berujung pilu.

Plak!

Telapak tangan itu mendarat mulus di wajah Arga tanpa hambatan dan perlawanan sedikitpun. Ia memilih menikmati setiap inci rasa sakit dari tamparan sang Ayah.

"Dari mana saja kamu? Masih berani pulang rupanya!" bentak sang kepala keluarga dengan raut wajah penuh amarah.

Diam, satu kata pun tak terucap dari mulut Arga, ia masih mematung di depan pintu dengan seragam basa. Wajah pucat dengan tubuh bergetar kedinginan tak mampu membuat Arvan bersimpati sedikitpun.

"Saya sudah bilang aturan di rumah ini mutlak tak boleh dilanggar. Bolos sekolah, berkelahi, tawuran, balapan liar laporan seperti apa lagi yang harus saya terima dari ulahmu?!"

Arga masih mengunci mulutnya dengan rapat. Jika pun ia jelaskan toh tak pernah didengar, hanya dianggap alasan semata. Waktu dan tenaganya akan terbuang percuma untuk hal yang sudah pasti seperti ini.

"Jawab kalau saya tanya!!" Suara bentakan Arvan kembali bergema di mansion mewah yang telah sunyi karena larutnya malam.

Arvan menyerah, ia melangkah masuk di ikuti Arga tanpa niat bersuara.

"Saya sudah lelah dengan semua ulahmu. Seharusnya contohi adikmu Arrant, penurut, berprestasi dan tentunya dapat membanggakan saya."

Dibandingkan dengan kedua saudaranya yang lain,l sudah menjadi makanan pokok untuk Arga, tersaji setiap hari di rumah, sekolah ataupun lingkungan sekitar. Arga hanya dianggap bayangan hitam kelam dan aib untuk keluarganya .

"Berhenti membuat kekacauan lagi pergi ke kamarmu. Jangan keluar sebelum saya perintahkan, paham?"

"Hm,"

"Jawab yang benar!!" bentak Arvan tak terima dengan deheman dari Arga.

"Ck, iya."

Tanpa menunggu ucapan dari sang Ayah lagi, Arga melangkah pergi menuju kamarnya.

Blamm!!

Daun pintu kamar bercorak linier milik Arga ditutup dengan kasar.

"Dasar anak kurang ajar. Tidak tahu sopan santun!!"

Arga memilih tak peduli dengan teriak Arvan yang masih dapat ia dengar bergema memenuhi mansion.

"Hiks Arga capek, Ma."

Pertahanan Arga runtuh, tubuhnya merosot merasakan dinginnya lantai. Ia sungguh lemas, kedua kakinya bahkan tak mampu berdiri lagi.

Arga memeluk kedua lututnya erat, menenggelamkan kepala berharap rasa sakit di hati dan tubuhnya berkurang.

Di saat seperti ini Arga butuh sosok ibu yang mengelus kepalanya, butuh sosok ibu yang mendekap hangat tubuhnya yang bergetar. Ia butuh sosok ibu yang membisikan kata-kata lembut ke telinganya.

Lantas, sekarang dimanakah sosok malaikat tanpa sayap itu berada?

***

"Eungh," lengkungan itu terdengar menyakitkan, sosok pemuda yang semalam tertidur dilantai mendekap mimpi setelah tangis yang berhenti.

Tak ada satupun yang mengunjungi kamarnya, tentu saja siapa yang ia harap? Ayah? Mustahil, sosok kepala keluarga itu pasti menemani sang adik tidur di lantai dua.

Arga berusaha menghalau rasa pusing yang mendera dengan memijat pelan kepalanya. Ia mencoba bangkit berjalan menuju kamar mandi untuk bersiap ke sekolah.

Monokrom [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang