Extra Chapter "Puing Rumah"

343 24 0
                                    

Arka tak tahu berapa lama matanya tertutup, tapi yang pasti ketika ia membuka mata semuanya sudah jauh berbeda. Rumah sudah tak layak di sebut rumah, terlalu pekat, gelap dan hancur.

Saat saluran besar yang mencekik tenggorokannya di lepas, suaranya tak bisa keluar tapi air matanya begitu cepat menetes. Apakah Tuhan tak bisa membiarkan dirinya bernapas sejenak, bahkan hanya untuk beberapa menit.

Dokter Rudi mengatakan keluarganya tak bisa untuk menemani dirinya di sini, Arka bisa terima dengan hal itu. Namun saat mata pria paru baya itu berkaca dengan mulut bergetar menyampaikan jika Arrant menyerah dan telah bersama Tuhan, saat itu rasanya nyawanya sudah ikut berlalu.

Arrant, adiknya pulang tanpa ucapan? Sungguh dunia Arka sudah berhenti berputar. Sakit sekali, adiknya, bocah pemilik senyum gigi kelinci itu benar-benar membuat ia gila.

Jika saja tubuhnya bisa bergerak, maka Arka berlari dari sini dan menemui Arrant. Tapi semuanya sia-sia jangankan beranjak pergi, mengucapkan kata saja bibirnya tak sanggup. Dirinya hanya bisa menangis dalam diam sembari mensugesti diri semuanya baik-baik saja.

***

Hamparan tanah luas dengan puluhan hingga ratusan gundukan tanah yang tersusun rapi. Mereka semua berada di sini, mengantar yang terkasih kembali pada pada asalnya.

Isak tangis terdengar mengiringi setiap bongkahan tanah yang dimasukkan berlahan, menutup liang yang menjadi rumah untuk raga pemuda dengan ribuan sayatan tak kasat mata.

Di sudut kiri dalam dekapan para perempuan yang juga turut menguatkan pundaknya, Jihan terduduk lemas dengan kata-kata penyesalan yang terucap.

"Adek, hiks kenapa pergi seperti ini. Adek kembali, mama janji akan membaca dongeng untuk Ar setiap malam," ucapan Jihan sudah mulai tak jelas, berakhir dengan tubuh yang sepenuhnya terjatuh dalam rengkuhan para kerabat.

Arvan diam dengan air mata di wajahnya, ia ikut membantu memasukkan tanah dalam liang yang menjadi tempat putra bungsunya beristirahat. Ia membisikan kata maaf dan doa diujung kepala Arrant, sebelum tanah menutup makam itu secara sempurna.

Selamat jalan putra bungsu papa, maaf atas setiap luka yang membuat Ar menyerah. Papa harap kamu terlahir kembali dengan kebahagiaan menyertai dirimu. Semoga Tuhan memberimu sosok ayah yang dapat mencintai dengan tulus. Papa menyayangimu, Ar.....

Sebelum bangkit dan pergi, sebuah kecupan Arvan layangkan di nisan bertuliskan nama putra bungsunya.

Disisi lain Arga memilih bungkam, ia memandang kosong gundukan tanah bertabur bunga itu. Arga memilih abai dengan kata-kata bela sungkawa dari mereka yang ikut mengantar sang adik ke peristirahatan terakhir.

Sabar? Ikhlas? Mereka tak perlu mengajarkan Arga tentang itu. Ia tahu, tapi untuk melakukan semua itu rasanya mustahil. Sampai detik ini Arrant adalah cahaya terakhir di hidup Arga, ia pergi maka kegelapan telah menelannya.

Arga tak bisa melangkah di saat matanya tak bisa melihat apapun selain kematian, bahkan bernapas pun rasanya sulit.

Di saat semuanya sudah melangkah kembali, Arga menolak untuk bangkit dari sana. Ia semakin mendekat ke makam sang adik, memeluk nisan itu dan terisak.

Ar membuat kakak berjanji untuk jangan pergi dari Ar, tapi kakak lupa untuk meminta Ar tidak meninggalkan kakak.

Sakit dan penyesalan itu baru saja bermuara pada mereka yang telah menorehkan luka. Menarik ke dalam lautan yang sama pekatnya dengan dulu ia rasa.

Darinya yang terluka dan berakhir dengan duka....

.

.

.

.

.

Gak tahu kenapa aku nulis ini...

Monokrom [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang