(6) Terserah

373 56 3
                                    

"Benar, tidak semua jenis luka dapat terlihat. Namun begitu apa kau tidak bisa merasakannya? Aku mohon cobalah menjadi sedikit lebih peka semua orang punya lukanya sendiri."

_Arrant Wijaya Ananta_

🍂🍂🍂

Satu jam melewati pertengahan malam. Seorang pemuda baru saja membuka pintu mansion sedikit pelan takut membangunkan penghuni yang ia yakini sudah tertidur lelap.

Pergerakan lambat yang terkesan mengendap-endap dari si pemuda mendadak berhenti ketika suara bariton familiar terdengar di telinganya.

"Masih ingat pulang ternyata," ketus si kepala keluarga yang terdengar dingin.

Sialan...

Umpat kecil di hati si pemuda yang mendadak beku di tempatnya.

Tap

Tap

Tap

Langkah Arvan sang kepala keluarga terdengar bergema di dalam ruang yang sudah sangat sepi dari aktivitas para maid.

Keadaan lampu yang menyala membuat Arga si pemuda yang membeku itu menatap wajah Arvan yang tampak mengeras menahan amarah mendekat kearahnya.

Kepalan tangan dari yang lebih tua hampir saja mendarat ke wajah mulus Arga namun terhenti karena masih adanya 'janji'?

"Beraninya kamu melanggar aturan dari saya?!"

"Bukannya anda tidak ingin mengurusi saya lagi Tuan Arvan? Jadi kenapa anda peduli dengan hal yang saya lakukan," ujar Arga dingin.

"Cih dasar sialan, semua kelakuan kamu itu mempermalukan nama baik keluarga saya. Apa kata orang jika sampai kelakuan bodoh kamu tercium oleh media, bisa hancur reputasi saya."

Arga terdiam, apakah hanya reputasi yang sang ayah pikirkan. Kenapa ia terlihat hanya pada sisi kelam, kenapa seakan cahaya selalu menjauhi nya ketika berhadapan dengan ayah.

Emerald gelap miliki Arga terangkat bertatap beberapa detik dengan netra arang milik Arvan. Kebencian, itu yang terlihat dari kedua makhluk yang masih berikatan darah ini.

Arga buru-buru memalingkan wajahnya ke arah tangga sungguh ia muak melihat tatapan sang ayah, selalu berhasil membuat dadanya sesak.

Namun malah tatap meremehkan milik seorang dengan mata bulat yang terlihat, eksistensi sang adik yang tengah duduk di 3 anak tangga dari atas yang tertangkap matanya tengah memperhatikan pertengkaran mereka.

Arrant pemuda bermata bulat itu menatap tanpa minat ke bawah dengan tangan menopang dagunya. Di belakang ada Paman Sam, pengawalan pribadi yang selalu setia mengikutinya kemana saja.

"Hoam, membosankan," gumamnya tak ada niat membantu menyelesaikan masalah dua orang yang tengah dibalut kesalahpahaman.

"Papa, apakah urusannya sudah selesai? Ar sudah mengantuk mau tidur," rengek si bungsu memutar matanya malas saat tatapan Arga tertuju padanya.

"Ah tunggu sebentar boy, kamu pergi saja ke kamarmu dulu. Nanti Papa menyusul," ucap Arvan dengan pandangan yang langsung menyendu.

"Hm." 

Arrant mulai beranjak pergi ke kembali kemar miliknya diikuti Paman Sam hingga punggung kecil itu menghilang.

"Saya tegaskan sekali lagi ikuti aturan rumah ini jika kamu masih punya niat untuk tinggal di sini," ucap Arvan penuh penekanan yang kemudian melenggang pergi menaiki tangga untuk menyusul si anak kesayangan?

Tanpa bisa ditahan bulir bening mengalir tanpa permisi. "Cih kenapa juga air mata ini turun. Bodoh gue gak nyuruh Lo keluar buat sesuatu yang gak penting." Monolog Arka sembari menghapus air matanya dengan kasar.

"Lihat tadi gimana tuh si manusia gila hormat ngomong sama tuh bocil kek dunia serasa milik mereka, gue cuma ngontrak kali. Eh gak gue cuma butiran debu yang kebetulan nyangkut di mansion ini," gumam Arga berjalan ke kamarnya dengan umpatan dan ocehan tak jelas.

"Liat aja muka bocil songong itu pasti dia ketawa-ketiwi liat gue dimarahi tadi. Pasti dia yang ngomong gue belum pulang terus nyuruh papa nungguin gue pulang buat ngomel, cih dasar bocil aduan. Dikit-dikit papa, terus apa katanya tadi nyebut dirinya Ar, sok manis anjir kek tai jatuhnya."

Blam!!

Daun pintu berwarna hitam itu ditutup dan dikunci dari dalam oleh sang pemilik kamar.

"Dasar bocil kematian, nyesel gue merhatiin dia hari ini," dumel Arga yang masih tetap berlanjut.

***

Selimut berwarna abu-abu muda ditarik perlahan oleh tangan besar milik Tuan Arvan, hingga menutupi dada pemuda yang sudah memejamkan matanya erat.

Cup

Satu kecupan singkat mendarat di kening Arrant, "Selamat malam boy, semoga mimpi indah."

Setelah memastikan putra bungsunya tidur Tuan Arvan lantas mematikan lampu dan meninggalkan kamar milik Arrant menuju kamarnya untuk segera mengistirahatkan tubuh lelah setelah seharian beraktivitas.

Berlahan mata bulat itu terbuka setelah pendengaran miliknya memastikan sang ayah sudah pergi. Langit-langit kamar yang dicat berwarna putih menjadi tujuan tatapan milik Arrant, rasa kantuk satu jam yang lalu seakan menguap tak bersisa.

Benang kusut dikepalainya seperti menyumbat kerja dari kelenjar pinel untuk menghasilkan hormon melantonin. Dada Arrant sesak, pikirannya kacau, otaknya tidak mau berhenti untuk bekerja memikirkan hal-hal yang sudah menjadi takdir hidupnya.

Selamat malam boy, semoga mimpi indah

Perkataan sang ayah beberapa menit yang lalu kembali terbesit di pikirannya, membuat garis lengkung yang terlihat miris.

"Papa benar kebahagiaan dan keindahan dikeluarkan kita cuma bisa didapatkan dalam mimpi. Tapi lantas kenapa dunia mimpi juga enggan menarik Arrant ke sana."

Potret beku yang terpajang di meja samping tempat tidurnya menampilkan 5 figur yang tengah tersenyum di depan kamera. Senyum yang begitu cerah dan indah namun terlihat palsu?

Arrant lantas bangkit dari posisi berbaring nya membuka laci meja mengambil dua butir kecil dari dalam botol putih bertuliskan 'Dextromethorphan'. Hanya benda ini yang dapat membantu Arrant menyelami mimpinya.

Selamat malam dan jangan lupa bangun untuk esok Arrant, semoga tetap kuat dalam wahana permainan takdir yang masih begitu panjang.

.


.

.

.

Tbc

Halo! Terima kasih sudah membaca cerita saya sampai saat ini. Kalau berkenan silahkan tinggalkan jejak berupa vote atau komen.

Monokrom [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang