(14) Egois dan Cemburu

306 45 1
                                    

"Jika pada waktu malam bulan ditakdirkan bersinar bersama bintang, maka di siang hari matahari mampu menyilaukan cahayanya sendiri."

_monokrom_

🍂🍂🍂

Sekolah menjadi tempat yang cukup menyenangkan untuk Arga, bukan tentang belajar membuatnya senang tetapi mengenai satu-satunya tempat yang dapat ia kenanga. Di sini Arga punya sahabat yang mengerti dirinya tanpa harus menyelam pada lingkup pekat dunia disekitarnya.

Dua tahun merupakan waktu yang cukup panjang bagi Arga mengenal sosok pemuda yang menjadi teman sebangku sekaligus teman bertukar cerita. Pemuda yang selalu menebarkan keceriaan di sekelilingnya, pemuda lincah yang suka bertingkah. Galang, Arka nobatkan sebagai matahari yang menyilaukan.

Tak seperti siang di hari-hari sebelumnya, siang ini tampak ada awan hitam kelam tak kasat mata yang menutupi matahari. Galang diam memandang Arrant dengan kerutan tak suka yang tercetak jelas di dahinya.

"Ngapain lo ngajak kecebong ini sih, Ga?" tanya Galang menatap intens Arrant yang tengah mengunyah makanannya dengan tenang.

"Gue gak ngajak dia Gal, dia yang ngintilin gue."

"Cih, sejak kapan gue ngintilin lo. Orang Lo dengan kaki Lo yang jemput dan narik gue dari lantai 3 ke lantai 1 cuma buat makan bareng." Arrant cukup kesal dengan titel 'ngintil' yang Arga sematkan.

"Bener omongan tuh kecebong, Ga?"

Arga menggaruk tengkuknya yang tak gatal sambil nyengir lebar.

"Stop manggil gue kecebong!" sentak pemuda bergigi kelinci itu berhasil membuat atensi Galang beralih padanya.

"Gue punya nama. Nama gue Arrant."

"Gue tahu_"

"Ya pastilah, siapa si yang gak kenal gue." Senyum tipis yang serat akan rasa over confident tiba-tiba berubah jadi kesal ketika Galang menyelesaikan kalimatnya.

"Sebatas kecebong adiknya Arga."

"Arga liat temen Lo nyebum bzgteub"

Mulut Arrant mendadak penuh ketika dengan sengaja Arga memasukan sepotong besar siomay dari piringnya. Sedangkan Galang ia sedang tertawa terpingkal-pingkal sekarang.

"Yang sopan bicaranya, panggil gue kakak!" ujar Arga tak terima sang adik memanggilnya tanpa embel-embel kakak.

Glub... Uhuk.. uhuk

Tersedak, siomay besar itu menyangkut di tenggorokan. Rasa panas langsung menjalar ke seluruh tenggorokan hingga hidungnya, membuat mata bulat Arrant berkaca-kaca karena perih.

Melihat wajah merah milik adik temannya nya ini membuat Galang sontak panik, dengan cepat ia menyambar jus jeruk entah milik siapa.

"Minim dulu cil,"

Gelas dari tangan Galang langsung di sambar, Arrant meminumnya dengan rakus.

"Pelan-pelan," ujar Galang memberi usapan pada bahu yang lebih mudah.

"Uhuk huwaa, Arga gilaa! Huwaa panas," teriak Arrant heboh, sedangkan sang kakak hanya menatap Arrant diam penuh rasa bersalah tanpa melakukan apapun.

Pletak

Tanpa dosa tangan mulus Galang memukul belakang kepala Arga cukup keras, ia jengkel melihat temannya yang cuma melihat tanpa membantu.

"Sakit bodoh," ringis Arga memegangi kepala belakangnya.

"Lo yang bodoh, liat adek Lo mukanya sampe merah gitu." Marah Galang sebelum beralih menatap Arrant yang sedang menyedot ingusnya dengan raut polos, "ah anak kelinci gue, udah gak papa kan?"

Anggukan pelan dari Arrant yang Galang terima, "Em, masih perih dikit, Kak." Lanjutnya Arrant dengan tatapan memelas membuat Galang tercengang melihatnya.

"Fiks, Lo adek gue sekarang," ucap Galang yang sudah mengakuisisi adik Arga sebagai adiknya.

Tunggu, Arga sedikit ngelag dengan situasi ini. Ada yang aneh tapi apa ya? Rasanya, ah iya kenapa sekarang Arga yang seperti orang lain diantara hubungan kakak adik Galang-Arrant. Bukankah beberapa menit yang lalu masih terjadi perang dingin diantara mereka, tapi lihatlah sekarang mereka sudah menjadi sekutu yang siap menyerang Arga.

Oh Tuhan sejak kapan adiknya memiliki perubahan mood secepat kilat, bahkan sekarang ia sudah merekahkan senyum bercanda dengan temannya. Apakah adiknya sudah terkena efek sunshine dari Galang sekarang?

"Hay Ga, Ar boleh Abang gabung bersama kalian di sini?"

Arga yang masih memperhatikan Arrant melihat jelas perubahan wajah Arrant menjadi datar setelah mendengar suara familiar itu.

Arga langsung mendongak ke sumber suara. "Ngapain lo ke sini, gak ada yang mau ngajak Lo gabung," tukas Arga kasar.

"Tapi Ga, gak ada kursi kosong. Lagi pula kenapa gue gak boleh duduk bareng kalian? Kitakan saudara. Gue juga mau akrab sama kalian," ucap Arka terdengar sendu.

Jujur Arka sedikit cemburu dengan mereka yang sudah sangat dekat tanpa memberinya ruang untuk mendekat. Arka juga ingin makan dan mengobrol santai bersama mereka, layaknya saudara yang saling terikat.

"Gak ada kursi kosong ya? Lo duduk aja di sini, gue udah mau balik ke kelas," ujar Arrant bangkit setelah memperhatikan kantin yang ramai.

"Tapi dek_"

"Kak gue pergi duluan," pamit Arrant pergi sebelum Arka benar-benar menyelesaikan ucapannya.

"Gue juga udah selesai, yok Gal balik kelas!" ujar Arga melenggang pergi diikuti Galang yang mengekor dibelakang menatap Arka dengan mulut yang membentuk kata 'maaf'.

Arka hanya mampu menatap punggung kedua saudaranya dengan miris.

Ia beralih melihat semangkuk bakso yang masih senantiasa di nampan yang ia pegang. Mendadak perutnya terasa penuh, rasa lapar hilang entah kemana. Bulatan bakso besar dengan genangan kuah beserta irisan seledri itu tak mampu menggugah selera makannya yang sirna.

"Di saat alasan gue hidup udah gak menginginkan gue di sini, kenapa gue dengan bodohnya masih bertahan," gumam Arka sembari meletakkan nampan ke meja.

Egois, rasanya Arka terlalu egois jika masih bertahan dengan dunia yang selalu berbisik keindahan lain yang tak pana. Arka merasa dirinya sangat egois, akan sesuatu yang orang lain lakukan untuknya dengan sadar. Pergi dengan mama dan hidup hanya berdua, membuat fokus mama tertuju padanya tanpa terbagi untuk kedua adik di rumah.

Arka merasa sangat egois tentang itu, andai waktu bisa terulang ketika Tuhan menitipkan dirinya pada keluarga Ananta dengan senang hati Arka mengatakan tidak. Ia lebih memilih tidak dilahirkan dari pada lahir dengan keadaan cacat dan membuat susah semua orang.

Tapi sekali lagi ia tidak dapat memutar waktu dan tidak juga dapat menolak takdir yang sudah Tuhan tuliskan di hidupnya. Satu satunya pilihan saat ini adalah berusaha memperbaiki gulungan benang merah yang terlanjur kusut dengan tetap bersabar.

Arka percaya Tuhan tidak tidur, ia serahkan semua kepada Nya. Kisah dan Rumahnya akan tetap memiliki akhir, entah itu kokoh ataupun robah. Bahkan ia sangat tak apa jika Tuhan segera menjemputnya pulang tanpa melihat ujung dari pelangi yang katanya indah.
.
.
.
.
.
.
Tbc

Annyeong!
Maaf banget ya aksa tidak konsisten dan sangat lama untuk update.
Aksa punya sedikit masalah dengan kesehatan, sejak bulan Ramdhan ini kondisi aku sedikit drop.

Jangan lupa vote dan komen, ☜⁠ ⁠(⁠↼⁠_⁠↼⁠)

Monokrom [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang