"Jika sekarang Tuhan mendengar semua yang umatnya sampaikan, maka aku akan mengatakan pada-Nya jangan menciptakan putih jika hitam sudah hadir menemani."
_monokrom_
🍂🍂🍂
Hembusan angin malam membuat sebagian gorden kamar Arrant terangkat. Si empu pemilik kamar masih senantiasa termenung duduk di atas kasur miliknya, menatap ke arah pintu balkon yang sengaja tak ia tutup.
Lampu kamar Arrant didesain khusus sangat terang untuk mempermudah membaca di waktu malam, suasana berbanding terbalik terlihat dalam pantulan matanya kerlip cahaya dari bangunan di luar sana.
"Dek,"
Deg
Sapaan itu mengalun indah begitu halus nan lembut membuat Arrant seketika menoleh ke arah sumber suara.
Ada sang ibu di sana dengan tatap yang tak pernah hadir saat bersamanya. Arrant merasa gugup ketika langkah pelan Jihan semakin mendekat, tak ada kenangan baik selama ini yang dapat ia gali dalam otak kecilnya saat bersama mama.
"Ma-mama?" Kegugupan dari suara Arrant terdengar begitu jelas.
Senyum manis sang ibu lagi-lagi membuat Arrant menghening, "Dek, mama duduk di sini ya?!"
Tak ada suara melainkan hanya anggukan yang bisa Arrant lakukanlah sekarang. Ia menggeser sedikit tubuhnya memberikan ruang agar Jihan bisa duduk di sana.
Tanpa aba-aba tangan sang ibu mendarat di puncak kepalanya, mengelus lembut dalam satu arah.
"Adek sudah sebesar ini sekarang," dengan senyum yang masih bertengger.
Bibirnya keluh, Arrant memilih diam menikmati setiap perlakuan manis Jihan yang membuat ia nyaman. Mata bulat Arrant berlapis embun, ini terlalu tiba-tiba ia tak terbiasa lebih tepatnya tidak pernah merasakan sentuhan Mama.
"Ar maafin mama ya, mama banyak salah sama Adek." Tangan Jihan menangkup pipi putra bungsunya.
Arrant menggeleng kepalahnya pelan, air matanya kini sudah mengalir tanpa permisi "boleh pe-peluk?"
Suara Arrant bergetar dengan cepat Jihan memasuki putra bungsunya ke dalam dekapan. Isakan itu semakin jelas terdengar di telinga Jihan, tangannya bergerak pelan mengelus punggung bergetar sang putra.
Jika ini mimpi bolehkah Arrant meminta Tuhan menghentikan waktu sekarang? Atau setidaknya izinkan Arrant hidup dalam mimpi ini selamanya?
Entah mengapa perasaan sesak menjalar, Arrant mengencangkan pelukannya pada Jihan. Ia tidak dapat membedakan perlakuan tulus atau tidak, tapi yang pasti ini pertama kalinya bagi Arrant bisa merasakan peluk erat mama. Ini bukanlah mimpi, ia bisa merasakan wangi dan hangatnya tubuh mama.
Setelah Arrant berhasil mengontrol emosinya, terjadi keheningan beberapa saat. Jihan masih menatap putra bungsunya dengan wajah sembab tengah menghapus sisa air mata.
Acara berpelukan penuh haru telah usai. Apa sekarang waktunya untuk membicarakan hal itu? Jihan merasa sedikit bimbang tapi ia akan mencobanya demi kebaikan putranya?
"Apa mama boleh minta sesuatu pada Adek?"
Suara sang ibu yang kembali terdengar mengalihkan fokus Arrant, ia menatap Jihan dengan raut penasaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Monokrom [Completed]
General Fiction°Cerita Pertama° Silahkan dibaca dan jangan lupa tinggalkan VOTE serta KOMEN ♥♥ Tuhan menitipkan nyawa bukan hanya berlian, pemanis atau cahaya pada suatu keluarga, mereka lebih dari sekedar itu!! Mereka hidup, mereka butuh kehangatan, butuh cinta d...