(10) Kesayangan? Tidak, Batu Sandungan

338 51 1
                                    

"Apa rasa sakit harus selalu disampaikan? Luka gue bukan bahan simpati buat kalian."

_monokrom_

🍂🍂🍂

Emerald gelap milik Arga memandang langit malam yang sunyi dengan tatapan kosong, hampir 2 jam ia duduk sendiri di bangku taman belakang mansion.

Melihat kegaduhan di ruang tamu saat hendak masuk tadi membuat langkah Arga berbalik, tak tau arah dan berakhir di sini.

Runyam, Arga pikir otaknya sekarang sedang mengurai tumpukan benang kusut, ada rasa aneh yang bertengger di hatinya, jika dirasa seperti perasaan bersalah?

Huft

Sudah berulang kali Arga menetralisir degup jantung yang tak karuan dengan cara mengambil napas panjang dan menghembuskan pelan.

"Ga, masih lama gak latihannya!?"

Teriakan Arka dari pinggir lapangan sungguh mengganggu permainan Arga, mendadak fokusnya hilang.

"Ga ini udah hampir jam 5!"

Arga mencoba mengabaikan teriakan Arka yang memintanya pulang, tapi beberapa kali ia kehilangan kesempatan memasuki bola
Oranye itu ke dalam ring. Dia kapten di sini, punya tanggung jawab besar.

"Ck, ganggu, kalau gak mau nunggu sana pulang aja sendiri! Lo bukan anak kecil lagi yang gak tahu arah jalan pulang kan?" Ujar Arga kesal.

"Tapi Ga,"

DUGH..

Ucapan Arka lagi-lagi harus berhenti
ketika Arga membanting bola ke lapangan dengan keras. Arka ingin pulang, tubuhnya lemas. Tapi Arga tak juga mengerti.

Baiklah sesuai kata Arga, ia bukan anak kecil yang tidak tahu arah jalan pulang bukan?

Kilas kejadian tadi siang kembali terbayang. Arga benci mengakuinya tapi bagaimanapun Arka hilang karena dirinya bukan Arrant. Tapi Boleh kan Arga egois kali ini? Jujur ia takut sang ibu membenci di tengah hubungan antara ayah dan anak yang tak kunjung menemukan titik terang.

"Ma.. Pa, Arga harus gimana? Ar maafin gue." Monolog Arga terdengar lirih.

"Apa yang harus gue maafin?"

Refleks Arga menoleh ke sumber suara, "Lo? Sejak kapan ada di sana?"

"Gue butuh jawaban bukan pertanyaan." Ujar Arrant dengan suara serak?

"Cih, lo cuma salah dengar doang. Ngapain lo di ke sini? Dimana papa?" Tanya Arga mengalihkan topik pembicaraan.

"Pengen. Gue gak tahu kemana papa dan mama Lo, mereka pergi setelah menerima telpon." Jawab Arrant santai sembari merebahkan tubuhnya yang terasa kebas di rerumputan.

"Bodoh dia orang tua Lo juga. Bahkan Lo yang jadi kebanggaan mereka, anak kesayangan." Ujar Arga terdengar iri.

"Kesayangan? Hahaha.." Arrant tertawa keras, ah perutnya terasa digelitik mendengar ucapan Arga.

Arga terlihat kesal, ayolah apa yang lucu dari kata-katanya?

"Bukan kesayangan, tapi batu sandungan." lanjut Arrant setelah berhasil menghentikan gelaknya.

"Maksud Lo?"tanya sang kakak penasaran.

"Semua tentang gue jauh lebih pekat dari hitam Lo, Ga." Arrant memejamkan matanya tenang.

"Apa sih Ar, gak usah ngaco jadi orang. Semua orang tahu kehidupan Lo sempurna, otak cerdas, sehat, bahkan Opa dan papa jadiin Lo cahaya di kehidupan mereka. Kalau gue boleh jujur, gue iri sama semua yang Lo dapat Ar."

Arrant mengubah posisinya menjadi duduk, sehingga manik bulat itu bertatap dengan emerald elang milik Arga.

"Lo iri sama kehidupan yang gue jalanin? Lo mau jadi gue?"

Arga memalingkan wajahnya, melepas tatapan polos milik sang adik.

"Kak," ah baru kali ini Arrant memanggilnya kakak rasanya de Javu untuk Arga, "liat gue!"

"Lo percaya kalau gue bilang semua afeksi yang gue dapet di mata Lo itu semua fatamorgana?" Tanya Arrant ketika kedua mata mereka kembali bertemu.

"Jelas, enggak." Ujar Arga mantap, "Lo selalu di perioritas kan Ar, Lo didepan kami semua. Papa cuma mandang lo."

"Karena gue batu sandungan buat Lo dan Arka, Lo harus bisa melompati gue untuk liat semua keindahan yang Lo percaya ada di depan."

Keheningan kembali menyelimuti dua insan yang terdiam dengan pikirannya masing-masing. Arga mencoba menerka apa maksud Arrant tentang batu sandungan, apa yang ia tak ketahui di sini?

Arga kembali mengalikan fokusnya pada sang adik yang kini tampak nyaman berbaring dengan mata bulat yang terpejam.

"Ar?" Panggilannya namun tak ada sahutan.

"Arrant?"

Melihat tak ada pergerakan dan sahutan dari sang adik, Arga mencoba mendekat dan duduk di samping Arrant. Wajah Arrant tampak tenang dengan hembusan napas teratur, sepertinya ia sudah berada di alam bawah sadar.

"Bisa-bisanya Lo tidur setelah bikin otak gue mikir."

Arga menelisik setiap inci wajah sang adik yang terlelap, adiknya terlihat tampan dan manis secara bersamaan. Sempurna, itu yang Arga pikir.

Tangan Arga bergerak hendak menyentuh pipi Arrant yang membiru, dengan sudut bibir terdapat darah yang sudah mengering. Kenapa Arga baru sadar, tamparan yang Arrant terima tadi pasti menyakitkan.

"Batu apa Lo itu berlian, Ar. Apa yang gue gak tahu, bukankah selama ini Lo bahagia? Kenapa sekarang Lo keliatan rapuh di mata gue, Ar."

Arga berlalu, melangkah pergi memangil Sam yang sejak tadi tampak mengawasi.

"Paman, tolong pindahkan Arrant ke kamarnya."

***


Suasana rumah sakit mendadak ramai setelah kedatangan konglomerat terkenal, Arvan Ananta dengan rombongan pengawal.

Pasca mendapatkan informasi dari dokter Rudi yang mengatakan, menemukan putra sulungnya di pinggir halte jalan dengan beberapa luka karena terserempet motor.

"Bagaimana keadaan putra saya, Rudi?" Tanya nyonya Jihan khawatir.

"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, luka di tangan dan lututnya tidak terlalu parah. Hanya saja darahnya cukup banyak keluar dan perlu transfusi satu atau dua kantung." Jelas dr. Rudi setelah memberi penanganan pada Arka.

"Syukurlah kalau begitu." Ucap Jihan dapat bernapas lega.

"Iya, tapi saya menyarankan untuk Arka opname satu malam di sini."

"Itu lebih bagus, aku akan menunggu Arka di sini Mas. Kamu pulang saja, urus masalah di rumah." Ujar nyonya Jihan pada sang suami.

"Ya, aku yang urus Sam." Jawab Tuan Arvan.

"Juga anakmu, Arrant." Tekan Jihan dingin.

"Hmm, aku pulang."

Sebelum masuk ke ruang inap Arka, Jihan menatap punggung sang suami yang menghilang di lorong rumah sakit diikuti beberapa pengawalnya.

"Hai sayang, sudah merasa lebih baik?" Sapa Jihan memasuki ruang putra sulungnya.

Arka mengerjap pelan dan tersenyum tenang, "ya, jauh lebih baik, Ma."
.
.
.
.
Tbc

Annyeong Yorobun!!
Jangan lupa vote dan komen ya.
See you next chapter ꒰⁠⑅⁠ᵕ⁠༚⁠ᵕ⁠꒱⁠˖⁠♡











Monokrom [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang