(2) Abu-abu untuk Arrant

925 91 9
                                    

Jika hitam dianggap berani dan putih adalah suci, bagaimana dengan abu-abu? Ia hadir diantara keduanya. Meleburkan putih memudarkan hitam, membiarkan kisahnya terhamburkan tanpa warna.

Deru mesin mobil memasuki kediaman mewah keluarga Ananta. Arrant yang baru saya kembali dari tempat les dijemput sang sopir menatap mobil sedan putih dihadapannya dengan senyum yang sulit diartikan.

"Mama?" batinnya.

Langkah Arrant pelan memasuki pintu mansion yang tak dikunci. Mengapa pikiran Arrant mendadak takut untuk bertemu mama, apakah kejadian Minggu lalu akan terulang lagi. Arrant gelisah meremas seragamnya yang sudah kusut.

"Semua akan baik-baik aja. Tenang, kejadian minggu lalu gak akan terulang. Lo sudah jadi anak baik Ar," gumam pemuda manis dengan mata bulat hitam, mencoba menenangkan diri menghalau pikiran-pikiran buruk yang bersarang di otaknya.

Langkahnya berhenti menatap wanita paruh baya yang masih terlihat cantik dengan dress rumah selutut yang tengah dikenakan. Wajah bahagia mama sangat terlihat ketika bersama kakak atau sang abang.

Manik hitamnya beralih menatap sang kakak yang tengah bercanda gurau bersama mama, Arga terlihat sesekali menduselkan wajah di paha Jihan, Ibu dari Arka, Arga dan Arrant.

Iri tentu yang tengah dirasakan Arrant sekarang. Pasalnya sudah lama ia ingin sedekat itu dengan sang ibu, membicarakan hal-hal random tentang mengapa kucing berbulu atau mengapa ikan di kolam kantin sekolah diberi nama lumba-lumba.

Pertanyaan-pertanyaan aneh mulai bermunculan di kepala Arrant tentang mengapa ia diperlakukan berbeda oleh sang ibu?

Mengapa mama memberi dekapan hangat hanya jika ada yang diminta? Mengapa mama tidak pernah mengelus kepalanya seperti mama mengelus kepala Kak Arga? Mengapa mama hanya menggandeng dan memujinya jika sedang bersama klien? Mengapa mama tidak pernah memeluknya di kala sakit seperti mama menjaga Bang Arka sepanjang malam? Mengapa semua perlakuan yang ia terima berbeda, apakah dia bukan anak mama? Apakah dia anak haram atau anak yang tak diharapkan?

Arrant melangkah gontai menaiki tangga menuju kamarnya, ia tak mau mempedulikan presensi dari kedua orang yang melepas kerinduan di ruang tamu. Sudah cukup, semua yang diharapkan takkan mungkin terjadi mama takkan melihat keberadaannya barang sebentar saja.

"Tuan muda, apakah mau saya siapkan makanan atau cemilan untuk dibawakan ke kamar?" tanya Sam, bodyguard pribadi Arrant menghentikan langkah tuan mudanya pada pertengahan tangga.

Arrant berusaha menoleh, melirik sebentar ke arah mama sebelum menjawab pertanyaan dari Sam, "em, boleh Paman. Arrant mau dibawakan coklat panas dan cemilan saja."

"Baik, saya akan minta Bi Asri mengantarkan ke kamar anda nanti. Oh iya Tuan muda Arrant, tadi Tuan besar memberi perintah untuk anda istirahat lebih cepat malam ini, mengingat tadi malam suhu badan Tuan mudah cukup tinggi."

"Baiklah. Terima kasih, Paman."

Arrant kembali menatap lembut sembari menyunggingkan senyum pada sang ibu apakah ibunya khawatir setelah Paman Sam mengatakan ia demam tadi malam?

Ah, lagi-lagi kekecewaan yang ia telan, sang ibu hanya melihatnya dingin tanpa ekspresi. Senyum getir terpaksa ia kembangkan. "mama, Ar ke kamar dulu. Mama jangan lupa istirahat."

Tanpa menunggu jawaban dari Jihan, Arrant memutuskan melangkah lebih cepat menuju kamarnya.

Pintu kamarnya sengaja Arrant kunci ia ingin benar-benar sendirian sekarang, tapi hal itu tidak mungkin mengingat 5 menit dari sekarang pasti paman Sam atau Bi Asri mengetuk pintu.

Huft

Arrant terus mencoba memperbaiki emosinya yang kacau dengan cara menarik napas dalam dan membuangnya perlahan. Ia tidak boleh kambuh di saat sang ibu di rumah, tidak boleh.

Monokrom [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang