(11) Terlihat Jelas

315 54 6
                                    

"Bukankah sebuah robot tak pantas memiliki keinginan dan tak punya nyawa ataupun rasa? Jadi biarkan aku membekukan segalanya, menjadi kejam seperti yang engkau minta."

_monokrom_

🍂🍂🍂

Arga rasa rumahnya memang tak bisa tertolong lagi pondasinya terlalu goyang, hanya menunggu patah dan roboh. Ayah dan ibu punya arusnya masing-masing, siap menerjang menghantam mereka yang masih ingin bertahan. Jadi masih pantaskah Arga berharap tentang rumah yang hangat dan nyaman?

Pemuda dengan emerald elang itu tau, tidak akan ada kalimat baik-baik saja sekarang. Dia terluka, bahkan eksistensinya tak dianggap di sana, apalagi lukanya? Tak akan pernah ada yang sadar.

Sejak kecil kehadirannya terabaikan, jika keluarga Ananta menjadikan Arrant sebagai porosnya maka begitu juga ibu menjadikan Arka fokusnya.

Lalu bagaimana dengan dirinya, siapa yang akan menjadi tempat Arga berpegang?

Perlakuan berbeda memang hal biasa untuk Arga. Ia sudah terlanjur terbiasa, terbiasa untuk mengalah, terbiasa untuk terluka dan kecewa.

Huft

Helaan napas terdengar dari Arga, pandangannya sejak tadi tak terlepas dari langit-langit kamar. Kilas balik masa kecilnya melintas membuat cairan bening dari pelupuk matanya mengalir.

Katakan saja Arga lelaki lemah, lelaki cengeng, kekanakan apapun yang kalian mau!

Terserah Arga tak peduli lagi, ia hanya ingin melepaskan bebannya sejenak dengan cara menangis.

"Papa liat Alga sudah pintal menggambal lumah!" ucap bocah cadel itu menentang selembar kertas untuk ia pamerkan pada sang ayah.

"Iya," ucap Tuan Arvan datar tanpa mengalihkan fokus pada putra bungsunya yang sedang belajar membaca.

"Wah, Arrant anak Papa hebat!" puji Tuan Arvan melihat Arrant yang sudah mampu membaca sederetan kalimat sederhana dari sang pengasuh.

"Papa liat dulu gambalnya!" rengek Arga.

"Ck menganggu saja, sana pergi gambar jelek seperti itu saja dipamerkan," ketus Tania, Ibu dari Tuan Arvan sibuk mengelus puncak kepala Arrant.

"Wah tatak gambal lumah?" tanya si adik mengalihkan binar terangnya.

"Iya, adik mau kakak ajalkan tidak?" ajak si yang lebih tua.

"Mauu, alant mau menggambal!" semangat sang adik.

"Tidak, bukankah Ar harus belajar menghitung. Ar mau pintar kan?" tanya Arvan membujuk.

"Tapi Al mau papa," rengeknya.

"Sekarang Ar belajar dulu ya, nanti papa belikan alat gambar. Sekarang Ar tidak punya alat-alatnya untuk menggambar," jelas si pengasuh dibalas anggukan dari si kecil.

"Adik bisa pake Pun_"

"Arga hentikan! Jangan pengaruhi cucu saya dengan hal-hal yang tidak penting. Sana cari ibumu saja, minyingkir," ketus sang Oma sedikit mendorong bahu kecil Arga.

"Hiks, mama!"

Kaki kecil itu berlari ke arah kamar sang kakak kembar dimana Jihan berada, berharap sang ibu memberinya pembelaan dan pelukan.

Monokrom [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang