(19) Luapan Emosi

335 36 7
                                    

"Jangan pernah Lo ngomong gak ada yang ngasih Lo ruang buat masuk, karena Lo sendiri yang udah nutup pintu yang bahkan udah gue buka dengan lebar."

_monokrom_

🍂🍂🍂

Kemarin bukanlah hari yang menyenangkan detik ini juga sama buruknya, jika kemarin adalah luka maka hari ini adalah duka.

Arga baru saja selesai menyelimuti tubuh adik bungsunya yang sudah terlelap setelah puas menangis. Sekali lagi Arga pandang wajah tenang sang adik, perasaan iri yang dulu ia sematkan tentang sempurnanya hidup seorang Arrant sekarang longsor akibat dentuman pengakuan.

Adiknya memang terlahir begitu berbakat, dianugerahi otak cerdas dengan tubuh sehat serta dilimpahi kasih sayang. Itu pikirnya dulu, sebelum tahu itu semua palsu.

Kalimat lirih yang keluar dari mulut Arrant membuat seorang Arga paham bahwa hukum Newton III berlaku nyata dalam dunia ini. Tidak akan pernah ada cinta dan kasih sayang (reaksi) jika tak ada sesuatu yang harus dikorbankan (aksi).

Langkah kaki Arga mendekat ke arah Arka, ia menyandarkan punggungnya di salah satu sofa singel bad. Satu kakinya ia angkat di atas kaki lain untuk memberikan kesan setenang mungkin.

"Gue tahu Lo gak tidur Ka," ujar Arga sambil mengamati punggung kakak lima menitnya yang mulai bergerak.

"Lo udah dengar semuanya, jadi apa keputusan dan tindakan yang bakal Lo ambil?" Tanya Arga langsung pada intinya.

Arka sudah mengubah posisi untuk duduk di sofa menatap kembarnya dengan raut wajah tak terbaca, terlalu banyak bentuk emosi yang terlihat di sana.

"Gak ada yang bisa gue lakuin, Ga. Lo berharap Abang Lo ini ngelakuin apa?" Ucap Arka diakhir dengan kekehan yang terdengar miris.

"Rupanya Lo udah nyerah aja sebelum memulai." Ucap Arga dingin.

"Setidaknya gue gak munafik dengan ngomong akan menjadi penyelamat dengan kondisi tubuh yang gue sendiri gak tahu dapat bertahan sampe kapan," Arka memandangi emerald Arga yang sejah tadi menatapnya tajam.

"Lo bahkan tahu Arrant aja yang terlahir tanpa kekurangan gak mampu bertahan dalam arus deras dari nama penerus tahta. Jadi apa yang bisa diharap dari gue ataupun Lo yang notabenenya udah cacat sejak kita hadir di dunia ini." Lanjut Arka tahap sadar menaikan intonasi suaranya.

Arga terdiam perkataan yang Arka ucapkan seperti sedih, kecewa, dan marah yang menyatu, baru kali ini kakak kembarnya menggunakan ucapan 'Lo dan Gue' padanya. Selama ini yang ia tahu Arka adalah sosok tenang yang mampu mengendalikan emosinya.

"Ga jika Lo minta gue jadi tameng buat gantiin Ar sebagai penerus, gue gak bisa. Gue minta maaf tapi biarkan kali ini gue egois, gue cuma mau hidup bebas di sisa waktu yang gue punya." Lirih Arka terdengar sendu diakhir ucapannya.

Tangan Arga mengepal kuat dibalik wajah datar yang ia tampilkan, ucapan Arrant mengenai semua orang di keluarga Ananta bersumbu pendek jelas benar. Tapi harus bagaimana lagi Arga mencoba menahan emosinya, Ia jelas paham sebelum ia meminta Arka membantunya menyelamatkan Arrant ia sudah ditolak terlebih dahulu. Pasti sakit jika adik bungsunya mendengar ucapan Arka yang begitu egois.

"Pengecut, Lo emang gak tau diri meraup udara bebas dengan menginjak Arrant. Dan sekarang Lo bilang kali ini mau egois dengan membiarkannya tetap berdiri memikul beban yang seharusnya jadi tanggung jawab gue terutama Lo sebagai sulung di keluarga Ananta!"

Ucapan dari mulut Arga memang sudah pedas dari dulu, kalian sudah tau bukan? Tidak ada yang berubah, selama ini ia hanya berusaha menjadi figur kakak yang baik untuk sang adik.

Sakit, sesak rasanya ucapan saudara kembarnya terlampau benar, ia sulung tapi tak bisa membendung dentuman ombak yang mengulang. Ia sosok kakak tertua yang berlindung dari kerasnya nama Ananta di balik punggung si bungsu yang penuh luka.

Arka pikir ia sudah gagal dari dulu, jadi untuk apa berusaha sekarang? Toh nyatanya baik dia maupun Arga tidak akan mampu memenuhi kualifikasi pewaris sempurna keluarga Ananta. Otaknya memang cukup bisa diandalkan, tetapi tubuh yang membalut otak itu sudah rapuh terkena ombak kecil pun akan jatuh.

Sedangkan saudara kembarnya, Arka tahu tuntutan sempurna dengan predikat jenius itu akan menekuk lutut Arga secara nyata. Pengidap disleksia adalah salah satu batu besar yang nanti membatasinya dengan dunia bisnis yang licik. Kesulitan untuk belajar dan memahami, akan membuat Arga langsung tercoreng sebagai penerus perusahaan raksasa milik Ananta walaupun prestasi non akademiknya yang luar biasa.

Arka rasa sejauh ini hanya si bungsu yang mampu mencapai kriteria itu, hanya perlu usaha kecil dan sedikit pengorbanan bahkan Arrant sudah bisa menjadi cucu kebanggaan Opa dan anak kesayangan papa. Sangat berbeda dengan dirinya ataupun Arga, perlu usaha ratusan kali lipat dibandingkan Arrant untuk memenuhi titel 'penerus'.

"Terserah mau bilang gue pengecut atau apapun, gue gak bisa dan gak mau beri harapan tentang kebebasan sekecil apapun pada Arrant," ucap Arka.

"Karena gue gak mau liat adik kesayangannya gue patah, jatuh terlalu dalam dengan berharap pada manusia yang gak bisa diharap seperti gue. Maaf Ar, Abang bukan sosok yang baik." Batin Arka yang tak mampu diucapkan dalam lisan.

Ya Tuhan sungguh pikiran Arka sempit, pemahamannya bahkan lebih bodoh dari Arga.

"Gue hargai keputusan Lo. Suatu saat nanti jangan pernah Lo ngomong gue ataupun Arrant gak ngasih Lo ruang buat masuk, karena saat ini Lo sendiri yang udah nutup pintu yang bahkan udah gue buka dengan lebar." Suara dingin itu membuat jantung Arka berdetak dua kali lebih cepat.

Apa keputusan yang gue ambil salah?

"Ga maksud gu_"

"Sekarang Lo boleh pergi dari sini, hadir Lo di sini gak ada lebihnya dari debu yang menggangu pernapasan!"

Bahkan ucapan Arka belum selesai, tapi perkataan menyakitkan milik saudara kembarnya nya berhasil menyeret Arka keluar dari sana. Pintu yang Arga buka, namun dengan bodohnya ia tutup, kini sudah kembali Arga kunci dengan erat. Sepertinya tak akan pernah ada kesempatan kedua.

Bolehkah ia menyesal sekarang? walaupun baru beberapa detik sejak pilihan itu ia tetapkan rasanya sudah sesakit ini.

Tubuh Arka bergetar jatuh terduduk setelah beberapa langka berjalan menjauhi ruang rawat Arrant. Ia menutupi wajah dengan kedua tangan, air matanya mengalir tapi tangisnya tak terdengar.

Arka ingin pulang dan menangis sepuasnya di kamar, tapi sekarang badannya lemas. Bahkan kedua lututnya tidak mampu untuk sekedar berdiri menopang tubuh untuk berjalan. Rasa pusing juga sudah menghujam kepalanya sejak tadi, pandangannya sudah berbayang.

"Maafin Abang, Dek." Suara lirih itu berhenti bertepatan dengan tubuhnya yang meluruh sempurna pada dinginnya lantai.

"Ya Tuhan, Arka!!"

Suara familiar dengan melodi pantofel yang bergeser cepat di lantai masuk ke rungu Arka.

"Mama..." Ucapnya lirih menyerahkan seluruh kesadaran pada sang gelap.
.

.

.

.

.

Tbc

2-5 Bab menuju epilog
Jangan lupa untuk vote dan komen

Terima kasih ✧✧

Monokrom [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang