(17) Gerimis Sebelum Badai

265 42 0
                                    

"Aku hanya ingin menjadi lebih bahagia? Apakah ini terlalu serakah?"

_Blue & Grey_

🍂🍂🍂

Arrant paham ada yang harus ia bayar untuk satu hari menyenangkan bersama sang kakak, tentu bukan Arga yang meminta bayaran tetapi papa. Kebebasan yang kurang dari 24jam ia rasakan harus diganti dengan hukuman menyakitkan di paviliun belakang.

Tubuh pemuda bergigi kelinci itu bergetar dengan tatapan datar, lebih tepatnya kosong. Setelah pulang tepat pukul delapan malam tadi semua masih aman, Sam mengatakan jika Tuan Arvan ada urusan dan baru kembali esok pagi.

Namun sekarang lihatlah pria paruh baya dengan tubuh atletis itu tengah menatap tajam putranya dengan mata nyalang. Arrant diseret bak binatang ketika baru saja merasakan kenyamanan dari kasur. Tubuhnya beberapa kali oleng membentur barang-barang, baru saja nyawanya dipaksa kembali setelah hampir mencapai kedamaian mimpi.

"Papa pikir kamu sudah cukup dewasa untuk bertindak kekanakan seperti tadi," ucap Tuan Arvan dapat membekukan ruangan.

Sore tadi Bu Dyah selaku guru les kimia Arrant menghubunginya untuk melapor atas ketidak hadiran sang putra di tempat les. Laporan serupa ia terima dari pihak sekolah yang mengatakan bahwa putranya absen hari ini.

Niat diri beristirahat di hotel usai melaksanakan meeting penting di luar kota mendadak sirna oleh amarah. Tuan Arvan bergegas pulang dengan gejolak emosi yang mengguncang.

"Peraturan papa tidak pernah berubah, kesalahan harus diselesaikan dengan penyesalan. Jadi terima hukuman kamu malam ini."

"Paa, Ar ingin merasakan bebas se_"

"Jangan serakah!"

Lirih Arrant terhenti dengan suara nyaring dari sang ayah. Arrant refleks memejamkan matanya sesaat karena terkejut. Ia benci bentakan yang membuat dadanya sesak.

"Bukankah kau sudah setuju menukarkan kebebasan yang kamu punya demi kasih sayang dan waktu yang papa berikan. Sudah seharusnya putra papa yang penurut ini menepati janji!"

Tuan Arvan jelas membuktikan bahwa ia sosok pebisnis perkasa, menukarkan semua waktunya dengan pencapaian yang luar biasa. Ia ingin putra yang sempurna.

Rematan jari-jari Arrant yang gemetar semakin menguat. Ia benci mengakui, tapi sekarang ia merasa tak ada harapan untuk sekedar merasakan udara tanpa beban.

"Paviliun ini cukup sunyi untuk merenungkan kesalahan. Papa akan meninggalkan kamu di sini, anggap ini hukuman dari papa," ujar Tuan Arvan keluar tak lupa mengunci pintu tanpa menunggu jawab dari Arrant.

Argh!! Hiks

Tangis yang sudah susah payah ia tahan akhirnya tumpah juga, Arrant hanya ingin bahagia apakah sesulit itu?

Rasanya Arrant ingin pulang sendiri tanpa harus di jemput, andai bunuh diri itu tak dosa mungkin tanah sudah lama merengkuh tubuhnya.

Ruang luas tanpa jendela dengan cahaya yang semakin menipis setelah pintu ditutup berhasil membuat trauma lama Arrant hadir. Amygdala di otaknya kembali mendoktrin rasa cemas dan takut dari pekatnya ruang penyiksaan yang dulu opa persembahkan.

Traumanya pada ruang gelap malam ini kembali hadir, semuanya berkat perlakuan manis Tuan Arvan yang tidak mau menghukumnya seperti biasa dengan penggaris kayu.

"Sakit hiks,"

Arrant merapatkan tubuh di sudut ruangan, kepalanya ia tenggelamkan dengan kedua lutut dipeluk erat. Tolong Tuhan kenapa tak Engkau kabulkan saja doa sederhananya, ia hanya berharap untuk pulang.

Monokrom [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang