"Nyatanya hati gue udah lama retak, tapi entah mengapa Tuhan selalu memintanya untuk tetap berdetak."
_monokrom_
🍂🍂🍂
Dua pria berjas putih satu diantara berkalung stetoskop kini duduk berhadapan dengan sosok pemuda yang menjadi wali dari adiknya. Pemuda itu Arga tengah meremat jarinya karena khawatir.
Dokter Rudi, pria paru baya yang Arga kenali sebagai teman mama saat ia berkunjung ke rumah sakit dulu. Dokter berkulit sawo matang yang ditugaskan di unit gawat darurat itu menjelaskan kondisi fisik pasien atas nama Arrant, yang bisa dikatakan baik-baik saja dengan hanya robekan kecil di bagian pelipis.
Arga akhirnya sedikit bernapas lega, adiknya dalam kondisi baik. Rasa syukur terus ia utarakan dalam hati hingga ucapan dokter Rudi membuat fokusnya kembali.
"Ga, perkenalkan ini dokter Agus, psikiater yang tadi ikut menangani Arrant."
Ya, tadi Arrant sempat sadar dan kembali mengamuk saat dokter Rudi membersihkan lukanya. Pengamatan Pria paruh baya itu selama hampir 20 tahun menjadi dokter dengan ribuan pasien tidak perlu diragukan, dalam sekali lihat ia tahu ada yang tidak beres dengan psikis pemuda yang menjadi pasiennya. Dan begitulah untuk mendapatkan kata pasti, ia menghubungi dokter Agus untuk ikut menangani Arrant.
Pria muda berkulit putih pucat berwajah datar disamping dokter Rudi kini mengambil alih penjelasan mengenai kondisi psikis Arrant yang mungkin sebentar lagi akan menjadi pasiennya.
"Apakah orang tua kalian masih belum bisa dihubungi?" tanya dokter Agus memastikan keberadaan orang tua dari bocah dihadapannya.
"Ya, papa tidak bisa dihubungi sedangkan mama mungkin dokter Rudi tahu, ada jadwal operasi sekarang dan tidak dapat diganggu," jawab Arga menatap sekilas pria paruh baya dihadapannya.
Anggukan singkatan yang Arga lihat dari dokter yang masih terlihat sangat muda.
"Kalau begitu langsung saja, saya amati dari kondisi adikmu dugaan saya ada semacam trauma masa lalu yang membuat mentalnya sedikit terganggu. Singkatnya Arrant mengidap PTSD atau gangguan stres pasca trauma," jelasnya cukup singkat, namun berhasil membuat pemuda dihadapannya kehilangan kata-kata.
Lagi dan lagi dentuman besar kembali membuat Arga sesak. Gangguan mental? Takdir seperti apalagi yang Tuhan gariskan pada ruang harap dalam hidup mereka.
Adiknya yang tampak kokoh, ternyata tengah menahan sakit dari robekan di hatinya. Sungguh Arga tak tahu sejauh dan sedalam apa luka yang Arrant balut dengan senyum gigi kelinci itu?
Arga merasa sekarang dirinya menjadi seorang yang tak tahu apa-apa. Apakah ia terlalu egois? Selama ini ia hanya terfokus pada sakit lukanya menutup mata atas orang-orang yang berpotensi menambah pedih, termasuk Arrant yang dulu ia yakini dapat menabur garam.
"Apa ya-yang jadi ba-bagaimana?"
Kalimat Arga kacau, bibirnya mendadak keluh entah bagaimana ucapannya masih di mengerti oleh dokter muda yang kini tengah menghela napas dihadapannya.
"Namamu Arga kan?" tanya dokter Agus.
Anggukan yang menjadi jawaban Arga atas pertanyaan itu.
"Sebaiknya minta adikmu berdamai dengan masa lalu, itu solusi terbaik untuk saat ini. Saran saya jauhkan dia dari hal-hal yang membangkitkan traumanya, salah satunya yang saya tangkap dari Arrant traumanya berasal dari keluarga terutama pria yang ia sebut Opa. Kalau perlu ajak adikmu mengatur waktu berkunjung ke psikiater untuk berdiskusi lebih lanjut mengenai traumanya. Jika membutuhkan saya, saya hanya punya waktu luang diakhir pekan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Monokrom [Completed]
General Fiction°Cerita Pertama° Silahkan dibaca dan jangan lupa tinggalkan VOTE serta KOMEN ♥♥ Tuhan menitipkan nyawa bukan hanya berlian, pemanis atau cahaya pada suatu keluarga, mereka lebih dari sekedar itu!! Mereka hidup, mereka butuh kehangatan, butuh cinta d...