(15) Sempurna

262 39 0
                                    

"Ada waktu yang harus dikorbankan dalam sejarah, ada pilihan yang harus ditinggalkan dalam menentukan arah."

_monokrom_

🍂🍂🍂

Sabtu pagi di sambut sinar matahari yang begitu cerah, menelisik diantara gorden bernuansa abu muda. Sosok pemuda telah rapi dengan pakaian sekolah, menatap dirinya di pantulan kaca.

Miris, pandangnya untuk diri sendiri, bukan masalah perawakan ataupun penampilan. Pahatan wajah kecil dengan rahang tegas, hidung mancung dan mata bulat itu tampak menakjubkan dipandang orang. Apalagi dengan tubuh jangkung yang dibaluti seragam berlapiskan Hoodie dengan harganya tak kepalang, perfect bukan?

Sekali lagi bukan itu yang menjadi fokusnya di cermin sekarang. Jauh dari penampilan sempurna itu, ada jiwa yang bahkan enggan untuk hidup lagi. Pandang mata yang kini  kosong, ia sudah kehilangan binar itu sejak 8 tahun yang lalu. Mama menganggapnya hanya sebagai kesalahan dan papa yang menawarkan diri merengkuh namun dengan imbalan yang besar, hidupnya.

Adakah yang lebih sulit dari sendirian di dunia ini? Maka dengan lantang Arrant akan menjawab bertahan. Ia bahkan tak apa jika nasibnya harus terabaikan seperti Arga namun masih bebas dengan dunianya. Ia juga tak masalah menyandang status penyakitan, tetapi memiliki seorang yang tulus seperti mama disisinya.

Arrant hidup atas keinginan papa, semua jalan sudah papa tentukan bahkan masa depan yang Arrant sendiri ragu masih adakah hari esok untuknya.

Sosok putra bungsu Tuan Arvan Ananta yang kata orang terlewat sempurna nyatanya hanyalah sebuah robot yang dilahirkan untuk memikul beban dari nama besar keluarga.

Jemari tangan Arrant bergerak memegangi bekas luka yang sekilas tersamarkan di pipi kirinya. Bekas luka memanjang dan sedikit kasar adalah salah satu dari banyaknya bukti abadi yang tercetak ditubuh Arrant.

Penganiayaan 8 tahun silam di ruangan gelap ketika hujan deras merendam suara jeritannya. Satu kesalahan membuat bocah bergigi kelinci yang masih duduk di kelas 2 elementary school kalah itu hampir kehilangan detak. Pelaku penganiaya yang terbilang sadis tak lain adalah Tuan besar Ananta yang terhormat, Opa kandungan Arrant sendiri.

Dua nilai hanya sebatas kkm dan kepribadian yang mendapat nilai B langsung membuat amarah pria satu pertiga beruban itu meledak. Hal sepele untuk sebagian orang tua tapi tidak dengannya, penerus keluarga Ananta harus sempurna tanpa cacat.

Jelas, selalu segar diingatan Arrant kala sang kakek menyerat dirinya ke mansion utama, mencaci dan memakinya sebelum berakhir ke ruang bawah tanah untuk menerima hukuman.

"Sa-sakit hiks, ampun Opa." Mohon si bocah dengan seragam penuh dengan bercak merah.

"Argh," jeritan serat akan kesakitan terus keluar dari mulut kecil itu ketika cambuk besar Tuan besar Ananta mendarat bebas di pundak sempitnya.

"Hiks, ampun opa A-Arrant mohon be-berhenti, sakit hiks," suara lirih Arrant hampir tak terdengar karena teredam suara hujan deras yang mengguyur tanah di luar sana.

"Memalukan Arrant!!" Teriak Tuan besar Ananta tepat di depan wajah pucat Arrant.

"Hiks O-opa, ampun!"

Arrant sedikit berteriak ketika dengan teganya sang kakek mengangkat dan membanting kuat tubuh kecilnya.

Prang

Tanpa sengaja tubuh sang cucu yang ia banting mendarat tepat di atas meja kaca, menciptakan suara nyaring dari remuknya kaca.

Kedua tangan Tuan Ananta bergetar, ia tahu ini bukan hal yang baik ketika tak lagi ia dengar jeritan ataupun suara dari si kecil. Saklar lampu, tujuan utama Tuan besar Ananta sekarang adalah memberi pencahayaan yang cukup untuk melihat kondisi cucu bungsunya.

Berbarengan dengan lampu yang menyala, seorang wanita masuk dengan raut wajah kesal.

"Apa yang Ayah lakukan pada putraku?!"

Itu Jihan, dengan wajah merah padam.

Tuan besar Ananta diam masih dengan tubuh bergetar memandang sang cucu yang dibanjiri darah segar, separuh wajahnya sudah tertutup dengan cairan merah.

Di sudut ruangan dengan sisa kesadaran yang tersisa, Arrant memandang Jihan penuh harap. Akhirnya mama datang dengan sinar terang, mama pasti datang untuk menolongnya.

"Sa-sakit, ma-ma to-tolong Ar." Bibir kecil itu tersenyum menatap Jihan.

Arrant tak punya kekuatan lagi untuk berbicara panjang, apalagi berjalan untuk memeluk sang mama rasanya mustahil. Seluruh badannya terasa remuk dan sakit, ia bahkan kepayahan untuk sekedar bernapas.

"Kenapa ayah mendorong putraku?!"

Rasanya Arrant ingin menangis mendengar suara teriakan mama yang membelanya.

"Siku dan lutut Arka terluka dan harus menerima transfusi darah. Semua karena Ayah mendorongnya keluar dari mobil!"

Deg

Jantung Arrant rasanya berhenti berdetak saat itu juga, apakah mama tak melihat keadaannya sekacau ini sekarang. Harapannya hancur sebelum bertunas, mama tidak datang untuknya.

Mama tidak hadir dengan cahaya, mama datang membawa kegelapan yang akhirnya merenggut kesadarannya.

Cairan bening yang menyelinap di pipi Arrant, ia hapus dengan kasar. Terlalu lama melamun di depan cermin, ia melangkah keluar untuk berangkat ke sekolah.

Mansion ini bebas untuk memakai lift ataupun tangga tak ada aturan mengenai hal itu. Langkah pelan membawa Arrant menuruni anak tangga, ia menatap kebawah melihat keadaan ruang makan yang sudah sepi. Pasti para penghuninya sudah pergi mengingat ia keluar cukup siang, 30 menit sebelum bel pelajaran di mulai.

"Ah seperti efek obat tidur tadi malam masih ada," gumam Arrant menghilangkan rasa ngantuk dengan mengucek matanya.

"Pagi adik bongsor ku," sapa seorang Arga kelewatan ceria.

Langkah Arrant tertegun beberapa saat, senyum kotak di pintu mansion menyambutnya dengan semangat.

"Jalannya udah kayak keong, lama banget," ucap Arga merangkul bahu sang adik yang telah sampai di dekatnya.

"Lo kesiangan ya? Mau berangkat bareng gue gak? Kalau bareng gue sat set sat set 5 menit sampe."

Tawar Arga sedikit menggiurkan di telinga Arrant, "boleh?"

"Ya bolehlah, pegang pas gue bencong eh bonceng. Anjir kok lidah gue bisa belok gini." Canda Arga garing tapi masih mampu membuat ulasan senyum tipis adiknya.

"Ucapan pertama itu gak pernah bohong." Cengir Arrant melepas rangkulan Arga berlari mendekati Paman Sam.

"Gue masih mau hidup bentar lagi, kalau mau mati duluan aja!" teriak Arrant yang sudah berada di dalam mobil yang dikendarai Sam.

"Eh, Ar bareng gue aja!"

Arga berjalan cepat menyusul Sang adik, namun kalah cepat dengan mobil yang sudah melaju meninggalkan kediaman mereka.

"Dah kak!"

"Adik laknat, gue udah susah-susah nunggu Lo!!" teriak Arga terdengar samar di telinga Arrant.

Senyum dari pemuda bergigi kelinci itu memudar seiring dengan mobil yang melaju menjauhi mansion.

Perlakuan Arga tampak tulus, tak terlihat berimbal seperti papa. Bolehkah sekarang ia berharap pada Arga, bolehkah Arrant berpegangan pada sang kakak untuk bertahan. Arga tak akan meninggalkannya seperti mama kan?

Arrant takut bertahan sendiri di dunia yang selalu menyimpan rahasia pada setiap detiknya.

.

.

.

.

.

Tbc

Halo semuanya, tak terasa sudah Sabtu malam Minggu aja. Tetap semangat untuk hari-harinya!!

Coba liat di pojok sebelah kiri ada star jangan lupa klik ya hehe..

Monokrom [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang