(8) Terlalu Terang = Sakit Mata

386 58 3
                                    

"Sesuatu yang terlihat tidak dapat disimpulkan begitu saja, karena sering kali manusia membuat skenario tersendiri dalam pikirannya"

_monokrom_

🍂🍂🍂

Pagi hari dengan cahaya matahari yang menelisik diantara jendela yang tertutup gorden menambah hangat suasana meja makan yang selama ini sunyi.

"Ma aku mau nambah ayamnya boleh?" tanya si tengah antusias.

"Boleh dong sayang," jawab sang ibu menyerahkan sepotong paha ayam ke piring Arga.

"Makasih mama." Dibalas senyuman manis sang ibu.

"Abang mau nambah sayur nya?" tawar Jihan pada putra sulungnya yang tampak makan dengan lahap.

"Udah cukup Ma, ini udah banyak." tolak si sulung.

Suasananya terlalu hangat, tapi mengapa Arrant merasa beku di sini. Ia kembali mencoba menelan sarapan pagi ini sedikit sulit, ia ingin segera selesai dan pergi.

Tak boleh bicara saat sedang makan, itu peraturan tak tertulis dari Papa dan wajib dipatuhinya jika tidak ingin mendapatkan hukuman. Tapi kenapa mereka sesantai itu mengobrol di meja makan, apa karena tidak ada papa atau peraturan itu hanya untuk dirinya? Ah memikirkan semua itu membuat sarapan di piring Arrant terlihat bertambah banyak saja.

Berbicara mengenai papa di mana Tuan Arvan sekarang, kenapa belum juga bergabung di meja makan?

"Dek, Adek?"

"Ha?" jawab Arrant cengoh karena baru kembali setelah berkelana dalam pikirannya.

"Adek kenapa bengong? Tadi Abang nanya mau nambah lauknya gak?" ujar Arka mengulang pertanyaan yang tak terjawab tadi.

"Dilarang bersuara di meja makan."

Bukan Arrant yang menjawab melainkan Tuan Arvan yang baru saja datang. Ia menatap tajam ke arah Jihan yang tampak biasa saja tengah mengunyah makanannya dengan anggun.

"Huft, karena kalian sudah kembali tinggil di sini jadi wajib mengikuti peraturan di rumah ini." Tutur Tuan Arvan tegas.

Jihan tampak melirik sekilas ke arah sang suami dan kembali fokus pada makanannya, "Ingat perjanjian kita Mas, biar aku yang mengurus kedua anakku dengan caraku sendiri."

"Stop sikap kekanakanmu itu Jihan! Aku masih kepala keluarga di sini, jadi ikuti peraturan ku. Kalian harus diajari tatakrama lagi sepertinya!" ujar Tuan Arvan tanpa bantahan.

Kembali sunyi, tak ada satupun yang memulai pembicaraan lagi setelah pertengkaran singkat tadi. Tuan Arvan tampak makan dengan tenang begitu juga dengan yang lain. Hingga sebuah instruksi dari sang kepala keluarga kembali terdengar.

"Arrant sudahi makannya! Ayo papa antar ke sekolah."

"Ehm, iya," jawab si bungsu mengikuti langkah sang ayah meninggal ruang makan tanpa suara lagi.

"Kakak nanti mama yang antar ke sekolah, sekalian mau daftarkan Abang ke sekolah yang sama dengan kalian," ucap Jihan tersenyum lembut memandangi kedua putranya yang menunduk diam setelah kepergian sang suami.

***

Keadaan sekolah yang sangat ramai dengan siswa-siswi membuat Jihan kembali berpikir ulang untuk menyekolahkan putra sulungnya ke sekolah umum. Sepertinya tidak aman melepas anaknya bergaul dengan manusia-manusia yang terlihat nakal di sekolah ini.

"Abang beneran mau sekolah umum? Gak mau homeschooling lagi aja?" bujuk Jihan kembali.

"Mamaa, kita udah bicarakan ini berapa kali," rengek Arka tak terima, bersekolah umum adalah salah satu mimpinya. Lantas tak mungkin ia melepaskan kesempatan ini bukan?

Jihan menampilkan wajah sendu demi membujuk putranya, namun baru saja ingin mengeluarkan rajuan suara sang putra sulung kembali terdengar.

"Aku janji akan jaga diri baik-baik."

"Huft, oke." Akhirnya Jihan menyerah.

"Arga bisa tolong bantu mama jaga Abang ya sayang. Mama percaya Kakak bisa jaga Abang, okee?"

Helaan napas terdengar dari Arga, jujur saja ia kurang suka dengan permintaan sang ibu. Selalu saja Arka yang diutamakan, tak tau kah sang ibu Arga punya kehidupan sendiri selain harus menjadi bodyguard untuk sang kakak.

Ia percaya seratus persen kalau sudah seperti ini jika Arka terluka pasti ia akan disalahkan penuh atas hal itu. Tapi apa boleh buat iya hanya mengangguk untuk permintaan sang ibu.

Setelah percakapan dan perbujukkan cukup panjang tadi akhirnya Arka diperbolehkan sekolah umum, mereka berdua tengah berpisah di ujung koridor untuk ke kelas masing-masing.

Arga berada di kelas IPS 2 sedangkan Arka lebih memilih jurusan IPA, tepatnya ditempatkan pada kelas IX IPA 1.

"Selamat siang teman-teman semuanya, perkenalkan saya Arkantara Ananta. Kalian bisa panggil saya Arka," jelas putra sulung keluar Ananta ini dengan semangat setelah guru memintanya memperkenalkan diri.

"Apa ada yang mau ditanyakan lagi dengan Arka, class?" ujar Pak Totok guru kimia sekaligus wali kelas mereka.

"Arka saudara kembarnya Arga anak IPS 2 kan? Berarti kakak kandung Arrant?" tanya siswa berambut sedikit ikal mengangkat tangannya.

"Iya, saya saudaranya Arka dan Arrant," jawab Arka jujur.

Wih anak konglomerat bro.

Arka gak kalah kece dari saudara-saudara nya, Sis.

Abang kandung si bintang sekolah guys.

Dari tampangnya gak kalah jenius sih.

Kegaduhan cukup terdengar di telinga Arka setelah ia memperkenalkan diri sebagai saudara Arka dan Arrant.

"Wah ternyata kamu anaknya Pak Arvan Ananta, bapak harap kamu bisa bersinar seperti saudara kamu Arga dan Arrant. Bapak tunggu warna sinar kamu ya Arka. Silakan duduk di bangku kosong sebelah kiri," ujar Pak Totok cukup panjang.

"Terima kasih, Pak," jawab Arka lesu. Ah, tiba-tiba saja semangatnya menyublin entah ke mana saat dimintai mensejajarkan langka dari kedua saudaranya.

"Nikmat tuntutan atas pilihanmu Arka, semangat!!" batin Arka mencoba menyemangati dirinya.

Arka mendudukkan bokong sambil mengulas senyum pada pemuda yang menjadi teman semejanya.

"Halo gue Arka," tangan Arka di sambut baik oleh pemuda dengan dimple di kedua pipinya.

"Gue Joan, salam kenal."

Tidak terasa pelajaran pertama sudah berakhir. Semua murid di kelas berbondong-bondong keluar untuk mengisi perut mereka, begitu juga dengan Arka dengan senang hati menerima tawaran Joan yang mengajaknya ke kantin bersama.

Suasana kantin yang ramai membuat Arka dan Joan menenteng makan, mencari bangku kosong untuk duduk.

Dari arah berlawanan tampak pemuda manis dengan wajah angkuh berjalan sendirian menggenggam sebotol air.

"Dek?" sapa Arka ketika hampir berpapasan.

Tak ada jawaban apalagi senyuman yang Arka terima, pemuda yang ia panggil 'dek' tadi hanya melirik sebentar dan melanjutkan langkahnya.

"Itu adik Lo kan, Ka?" tanya Joan memastikan.

"Hm, Iya Jo. Arrant adik bungsu gue."

.

.

.

.

.

Tbc

Annyeong, jangan lupa vote dan komen ya. Terima kasih (⁠ ⁠˘⁠ -˘⁠)⁠♥

Monokrom [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang