LT || 43

192 17 0
                                    

Jangan lupa vote dan komen ya guys!


Bagaimana tuhan? Tidak adakah sedikit ruang untuk aku benar-benar berjuang?

~Fresya Gweny Shafira~



Malam yang melelahkan, membuat jiwa dan raga seolah terhempas diantara semerbit angin kencang yang menerpa keadaan malam hari itu. Tania, Rafa serta Gara saat ini berada di kediaman milik Fresya. Sementara gadis pemilik rumah itu tengah bersama orang tua satu-satunya yang sejak tadi mengkhawatirkannya. Meskipun Fresya telah berada di rumah saat itu, tetap saja pria paruh baya tersebut meminta penjelasan sang anak dengan sejelas-jelasnya.

"Kalau itu sesuatu yang berbahaya maka beri tahu Papa atau siapapun yang ada di rumah ini. Sudah berapa kali Papa mengatakan hal ini padamu, Fresya?"

Fresya menunduk. Bukan karena dirinya takut akan suara sang ayah yang meninggi melainkan hatinya merasa sakit karena telah membuat ayahnya merasa kecewa untuk kesekian kalinya. Ia tidak bisa menepis sebuah kebenaran bahwa hal paling menyakitkan yang dia rasakan ialah ketika berada di posisi seperti ini. Beradu argumen dengan orang yang paling ia sayang. Fresya takut jika ada pembelaan darinya yang membuat sebuah pertengkaran antara anak dan seorang ayah. Maka sebisa mungkin ia menunduk, mendengar semua kekecewaan yang keluar dari mulut sang ayah dan diam membisu sebelum dirinya benar-benar diberi kesempatan untuk menjawab pertanyaan.

"Fresya jawab Papa!"

Ia mengangkat kepalanya, "Papa, maaf ini adalah kesekian kalinya Fresya membuat Papa kecewa."

"Mungkin ini bukan pembelaan yang tepat, tapi aku akan tetap mengatakannya, Pa."

Fresya mengalihkan matanya pada sudut ruangan. "Ada hal yang sedang mengganggu pikiranku malam ini, sesuatu yang mengusik diri sampai membuatku ingin mengurung diri saat itu."

Pria itu mulai menatap netra putrinya. Dia dapat melihat sebuah kejujuran di sana, dia juga bisa membenarkan apa yang dikatakan oleh Fresya. Gadis itu memang sempat menolak ajakan makan malamnya dengan alasan sudah sangat kenyang, namun ternyata bukan itu alasan yang sebenarnya.

"Belum sempat aku membenahi pikiranku yang saat itu berantakan ... Tania, dia menelfonku tiba-tiba dan mengatakan bahwa dia butuh pertolongan. Saat itu aku benar-benar tidak bisa berpikir lebih jauh, Pa. Yang ada dipikiranku saat itu adalah menemukan Tania dengan cepat. Memang sudah menjadi nasib buruk, motor yang aku bawa justru mogok ditengah jalan."

Ia masih menyimak setiap ucapan putrinya dengan menurunkan segala rasa cemas yang baru saja memuncak.

"Aku ingin menelepon Papa, tapi saat itu aku bertemu Gara, teman baru disekolah. Kita langsung mencari tempat Tania berada dan Papa tahu, tidak ada pertikaian yang melibatkan luka atau senjata tajam sekalipun. Aku tidak tahu mengapa Gara bisa menyimpan banyak gas air mata di mobilnya, namun karena itulah kita bisa menolong Tania juga Rafa tanpa mengotori tangan."

Fresya sebenarnya ingin bertanya mengenai gas air mata kepada Gara sesaat setelah mereka sampai dirumahnya, tetapi ayahnya lebih dulu memanggil dirinya ke ruang kerja.

"Maafkan Fresya, Pa. Maaf karena hari ini sudah membuatmu khawatir berkali-kali," lirihnya. Ia benar-benar merasa sedih saat itu.

Tidak mungkin ia tahan melihat putrinya yang bersedih seperti itu. Sepertinya sudah saatnya ia menurunkan amarahnya dan menenangkan Fresya yang terlihat begitu putus asa dalam kesedihannya.

Pria itu mengusap pucuk rambutnya penuh kasih sayang. "Maafkan Papa karena membuatmu sedih. Maafkan Papa karena tidak bisa mengerti keadaan–" ucapannya terpotong saat Fresya memeluk dirinya tiba-tiba.

Luka Terbaik Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang