Happy reading
*
*
*"Ibu, kapan Kak Rion dan Kak Evan pulang, Bu? Ria rindu mereka."
Bi Sita menghela napasnya. Entah sudah berapa kali anaknya menanyakan hal yang sama padanya.
"Kemarilah," Ria berjalan menuju dekapan ibunya.
"Kak Rion dan Kak Evan sedang memenuhi tugas mereka. Jadi, Ria harus bersabar dulu."
Anak polos itu mengangguk dengan wajah sedihnya tanpa melihat wajah Ibunya yang tengah berusaha menahan air matanya.
Ria mendongak, "jadi, mereka pasti akan kembali, kan, Bu?"
Bi Sita tersenyum, lalu mengecup singkat kening anaknya, dia tidak menjawab. Sedangkan Ria yang melihat senyum sang Ibu mengartikan itu sebagai jawaban iya dari pertanyaannya.
"Kalau begitu aku akan bermain dulu, Bu."
Cup
Ria mengecup pipi Ibunya lalu berlalu keluar dengan senyuman lebarnya. Anak itu benar-benar mengira kedua kakaknya akan kembali.
"Maafkan Ibu."
Bi Sita meneteskan air matanya yang ia tahan sedari tadi. Senyuman lebar anaknya semakin membuat dirinya merasa bersalah.
Mimpinya semalam benar-benar membuat harapannya sirna. Mimpinya bertemu dengan lelaki tua yang juga pernah hadir dalam mimpinya bertahun-tahun lalu.
''Rion dan Evan tengah memenuhi takdir mereka. Keduanya telah memulai, dan untuk kembali, itu hal mustahil.''
Bi Sita semakin terisak mengingat kata-kata itu.
Tentu saja ia mengerti artinya. Anaknya tidak akan bisa kembali. Kedua jagoannya benar-benar telah dewasa.Tapi, mau bagaimana pun ia tidak bisa menyalakan siapa-siapa karena memang ini adalah takdir dari keduanya.
"Kedua Kakak mu tidak akan kembali, Ria."
Bi Sita kembali menangis. Entah bagaimana caranya agar bisa memberi tahu putrinya. Anak itu pasti akan sangat sedih nantinya.
*
*
*"Pasti ada yang dengan sengaja melakukannya,"
"sengaja? Tapi, kami rasa tidak mempunyai musuh disini." Ujar Felicia.
"Kalian mungkin tidak menganggapnya, tapi dia yang menganggap kalian."
Fey dan Felicia berpikir keras untuk ucapan wanita paruh baya didepan mereka. Mungkin saja yang diucapkannya benar. Fey maupun Felicia telah menceritakan kejadian bagaimana Chelsa bisa seperti sekarang.
Disaat mereka sama-sama terdiam tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka.
Memperlihatkan ketiga lelaki tersebut masuk terkecuali pelayanan yang menuntun mereka. Sebenarnya ia hampir masuk tapi melihat isyarat dari Nyonya-nya yang menyuruh dirinya untuk tidak masuk membuat ia mengerti.
Wanita paruh baya pemilik toko itu juga sempat terkejut melihat kedatangan Arden.
"Kenapa bisa?" Tanya Evan.
Fey melirik Felicia yang seperti enggan untuk menjawab. Fey yakin jika temannya itu ketakutan jika nanti para lelaki itu menjadi marah.
"Kami juga tidak tahu. Itu terjadi begitu saja." Jawab Fey dengan melihat langsung pada Evan.
Evan tidak mengeluarkan suaranya. Ia berlalu menuju ke arah Chelsa yang memejamkan matanya. Wajah wanita itu terlihat pucat.
Kini Fey dan Felicia berhadapan langsung dengan Arden dan juga Rion. Melihat keterdiaman yang terjadi membuat wanita pemilik toko itu mengangkat suaranya.
"Dia diracuni."
Mata mereka berhenti ke arahnya. Terkecuali Fey dan Felicia. Evan kembali melihat Chelsa. Dugaannya ternyata benar. Evan sendiri yang memiliki kemampuan dalam menganalisa sebenarnya sudah tahu lebih awal.
"Dan racunnya sudah aku keluarkan, dia hanya butuh istirahat. Kalian tidak perlu khawatir." Meskipun mendapatkan kabar yang baik juga, belum mampu membuat ketiga lelaki itu menjadi tenang.
"Sebelumnya terimakasih, Nyonya. Tapi, kami akan membawanya pulang." Perkataan Arden membuat wanita itu menghela nafasnya. Mau menolak pun ia tidak berhak.
"Terserah pada kalian. Aku tidak akan mencegahnya."
Setelah mendapat izin. Mata Arden mengarah pada ranjang dimana terdapat Chelsa dan Evan disisinya.
"Kita akan kembali." Arden lalu berlalu keluar dari ruangan itu tanpa menunggu yang lainnya.
Evan yang mengerti perkataan Arden lalu membawa Chelsa pada gendongannya. Ia mengangkat tubuh hangat wanita itu lalu ikut berjalan keluar.
Rion melihat kedua wanita didepannya. "Kalian jelaskan nanti." Setelahnya ia juga keluar dari ruangan tersebut.
Wanita paruh baya menghampiri keduanya. "Kalian tidak perlu khawatir, semuanya akan baik-baik saja."
Ia tersenyum ke arah kedua wanita muda didepannya yang juga tersenyum simpul ke arahnya.
"Terimakasih, Bi. Kalau begitu kami pamit." Pemilik toko itu mengangguk.
Keduanya lalu keluar dari ruangan itu. Meninggalkan wanita paruh baya yang sibuk dengan pemikirannya sendiri.
"Ternyata mereka tamu dari Arden."
*
*
*"Maaf, ini salah ku."
"Kau tidak harus minta maaf, Felicia. Semua yang terjadi bukan salahmu." Ujar Rion.
Felicia mengangkat kepalanya yang menunduk. "Tapi jika Chelsa tidak memakan kue itu, dia tidak akan jadi seperti ini."
"Kau benar. Tapi, semuanya tidak ada hubungannya dengan mu." Ucap Arden yang tiba-tiba telah berada pada tengah tangga. Ia berjalan perlahan menuju mereka.
Felicia hanya diam tidak menanggapi. Wajahnya masih terlihat murung.
Diruang itu terdapat Rion, Arden, Felicia dan Fey yang sedari tadi hanya diam. Entah apa yang ada dipikiran wanita itu. Sedangkan Evan berada di kamar Chelsa untuk mempercepat pemulihan wanita tersebut.
"Kalian tidak marah, 'kan?"
Tanya Fey dengan tiba-tiba yang mengangkat kepalanya melihat kedua lelaki yang tinggi menjulang didepannya. Karena memang dia dan Felicia duduk sedangkan Rion maupun Arden tidak.
"Marah? Tentu saja iya. Tapi, bukan kepada kalian." Perkataan Arden membuat kedua wanita menjadi bingung.
"Maksudmu?"
Arden tersenyum tipis, "kalian tidak perlu tahu. Sebaiknya kalian bersihkan saja diri kalian. Aku dan Rion ada urusan."
Fey hanya menatapnya, sedangkan Felicia hanya mengangguk. Keduanya lelaki itu lalu berjalan keluar meninggalkan mereka.
Senyuman Arden tiba-tiba menghilang digantikan dengan wajah datarnya setelah keluar dari rumahnya.
"Evan akan menemui kita secepatnya."
Arden mengangguk dengan jawaban Lelaki disampingnya lalu kembali melanjutkan berjalan.
Fey dan Felicia telah pergi ke kamar mereka. Felicia membersihkan diri dan sedangkan Fey hanya duduk termenung di tepi tempat tidurnya.
"Kue itu diarahkan untuk Felicia, dan Chelsa yang memakannya."
"Apa jangan-jangan ...." Fey menggelengkan kepalanya. Ia tidak boleh berpikiran buruk dulu.
"Tapi, mungkin saja hal itu benar. Ia memiliki dendam pada Felicia dan berusaha meracuninya." Pikiran Fey hanya mengarah pada satu wanita yang pernah bertemu dengannya dan yang lainnya.
Fey berdiri. Langkah kakinya perlahan mengarah pada jendela kamarnya yang terlihat terbuka. Mata wanita itu terpejam. Sesaat kemudian lalu kembali terbuka menampilkan tatapan tajamnya.
"Jika memang benar, maka lihatlah apa yang bisa aku lakukan, Karan." Ia mengeluarkan seringainya.
Wanita dengan wajah tidak pedulinya itu adalah wanita yang sangat sensitif. Setelahnya ia berjalan menuju arah kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Setelah selesai nanti, Fey akan langsung ke kamar Chelsa untuk kembali melihat keadaan wanita itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESTINY OF THREE GIRLS
FantasySANGAT PERLU REVISI. HUS HUS HUS HUS HUS HUS HUS HUS! MENDING JANGAN DIBACA DULU YA TEMAN-TEMAN. Liburan yang seharusnya menjadi sebuah kebahagiaan malah menjadi sebuah bencana dan awal yang bahkan mereka sendiri tidak tahu bagaimana akhirnya. Baga...