Happy reading
*
*
*Fey cuek, Diego pun lebih parah lagi. Jangankan hangat, Kerajaan Xavier semakin terasa beku. Raja mereka, Diego yang bahkan menampakkan dirinya bisa dihitung jari malah ditakdirkan memiliki seorang Ratu yang cuek akan sekitarnya.
Mereka tahu jika pernikahan antara Diego dan Fey bukan didasari oleh rasa cinta. Namun, mereka sangat berharap jika pernikahan itu bisa membawa keberkahan bagi Kerajaan Xavier.
''Aku sangat berharap adanya kehangatan di kerajaan ini.''
''Ya, kau benar. Semoga saja Ratu bisa membantu Raja.''
''Tapi, bagaimana bisa? Apa kalian pernah berpikir akan lebih baik jika Putri Alice yang menjadi Ratu? Dia lebih pantas, 'kan?''
''Kau gila? Jangan bicara seperti itu!'"
Hembusan napasnya begitu terdengar berat di perpustakaan sunyi yang luas. Percakapan antara beberapa pelayan istana yang tanpa sengaja dirinya dengar membuat Fey tenggelam dalam pikirannya.
Mereka benar. Seharusnya bukan aku yang berada di posisi ini.
Tidak mudah baginya untuk berada di tempat baru, apalagi dengan dua status baru yang ia miliki saat ini. Seorang istri sekaligus Ratu.
"Apa kau berpikir sama dengan mereka, Jane?"
Suara itu mendayu dalam ruangan sunyi nan tenang itu. Jane yang semula hanya diam kini terkejut dengan pertanyaan tiba-tiba yang sang Ratu lontarkan.
Wanita berparas sayu itu menggeleng meski ia tahu Fey tak dapat melihatnya. "Saya tidak berani, Ratu."
Fey mengangguk pelan. Seulas senyum tipis muncul di bibirnya. Matanya masih fokus membaca deretan kata dibuku tebal bersampul biru di tangannya.
"Tidak berani berpikir bukan berarti tidak berani mengambil kesimpulan, 'kan?"
Pelayan itu mengangkat kepalanya. Dari belakang, Jane bisa melihat jika Fey masih fokus pada bacaannya. Sedetik kemudian ia kembali menunduk.
"Ma-maaf, Ratu. Saya sungguh tidak berani." Ujarnya takut.
Karena sejujurnya Jane juga pernah berpikir demikian. Namun, pikirannya kembali terbantah saat merasa aura Fey yang semakin hari semakin menguar. Beberapa hari bersama membuat Jane tahu jika Fey bukanlah wanita gila tahta atau semacamnya. Jane merasa jika Fey juga memiliki sisi hangat dalam dirinya. Hanya saja Fey pandai menutupinya.
Wanita itu bahkan tidak menggunakan topeng kepalsuan saat di depan khalayak umum yang membuat Jane kagum. Fey tetaplah Fey, wanita keras kepala yang tidak bisa dibantah. Statusnya sebagai Ratu tidak dapat mengubahnya menjadi pribadi lain seperti tuntutan pada Ratu lainnya.
Fey ... dia bukan wanita yang haus akan pujian. Bukan pula wanita yang akan mudah melambung tinggi agar mudah dijatuhkan.
"Kalau begitu pergilah, aku akan berada lama di sini. Temui aku jika ada yang ingin kau sampaikan."
Jane hanya bisa menurut dengan lesu. Karena sekali lagi, Fey tetaplah Fey, wanita keras kepala yang tidak bisa dibantah. Jane harus mengingat baik-baik hal itu.
Mendengar suara pintu tertutup, Fey juga ikut menutup bukunya. Menyandarkan punggungnya pada kursi.
"Apa yang lebih sial dari keadaan terpaksa?" gumamnya.
Fey tahu dan sadar betul dengan tugasnya. Tapi, itu tidaklah mudah. Ia harus belajar banyak hal, seperti memiliki kemampuan bersosialisasi yang cukup memungkinkan. Hal yang membuatnya muak, apalagi semenjak menjadi Ratu banyak sekali ajakan pesta yang diterimanya. Yang mana belum ada satupun yang ia terima.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESTINY OF THREE GIRLS
FantasiSANGAT PERLU REVISI. HUS HUS HUS HUS HUS HUS HUS HUS! MENDING JANGAN DIBACA DULU YA TEMAN-TEMAN. Liburan yang seharusnya menjadi sebuah kebahagiaan malah menjadi sebuah bencana dan awal yang bahkan mereka sendiri tidak tahu bagaimana akhirnya. Baga...