8. Khawatir

6.7K 445 2
                                    

     Sudah pukul 12 malam suasana rumah sudah senyap. Bisa di pastikan semua orang sudah terlelap. Oh, sedikit suara bising dari dalam kamarnya Hanendra. Selepas makan malam yang di antar oleh Rafa, laki-laki itu langsung tidur. Sudah minum obat tentunya. Tidak ada Nanda ataupun Adi di kamar. Terlebih tidak ada yang sedang mengerjakan tugas sampai larut malam. Sehingga tidak ada yang datang ke kamarnya.

     Marka. Ah, anak sulung itu akan selalu datang ke setiap kamar adiknya. Itupun di jam random. Tidak suka di jadwal.

     Terdengar ketukan pelan dari daun pintu. Lalu pintu terbuka. "Bang Rafa?" Kemana si anak sulung?

     Rafa berjalan mendekat, setelah menyalakan saklar. Si anak kedua itu duduk di tepi ranjang. Memerhatikan adiknya yang masih menggigil dengan selimut yang menutupi sampai ke hidungnya.

     Tangannya terulur untuk mengecek suhu tubuh. Lebih panas dari pas setelah makan malam. "Pusing?" tanya Rafa pelan.

     "Heem."

     "Ke rumah sakit aja, ya?"

     Hanendra malah menenggelamkan seluruh wajahnya ke dalam selimut. Sebagai tanda penolakan. Mengerti akan bahasa tubuh adiknya, Rafa mengusap rambut adiknya itu sayang. "Katanya tugas kuliah banyak."

     "Entar kena suntik." Rafa tertawa pelan mendengar gumam adiknya.

     "Mau sembuh, gak?"

     "Tapi gak mau ke rumah sakit~"

     Tawa Rafa mengudara. "Dih, ngerengek. Ke rumah sakit juga kalau emang gak kenapa-kenapa gak bakalan di suntik, lah, San." Si adik diam. Ia membuka selimutnya sebatas hidung. Lalu menatap lekat abangnya yang tengah tersenyum ke arahnya. Membuat hatinya menghangat. Rasa takut saat makan malam hilang begitu saja.

     "Mau, ya?" tawar Rafa lagi.

     "Sama abang?"

     "Iya."

     Ia terdiam sebentar sebelum akhirnya mengangguk. Rafa tersenyum. Ia mengusap kepala adiknya lagi lalu pergi ke luar kamar untuk mengambil jaket dan kunci mobil. Laki-laki itu memanaskan mobil. Membuat penghuni rumah yang mudah bangun karena suara jadi terbangun. Marka dan Adi keluar dari kamar. "Loh, Adi kira abang yang nyalain mobil." Suara serak Adi membuat Marka mengusap kepalanya.

     Keduanya jalan beriringan menuju garasi. Melihat siapa yang menyalakan mobil. "Rafa?"

     Tawa keras Rafa mengudara melihat wajah bantal kedua saudaranya. Rafa lalu keluar dari dalam mobil tanpa mematikan mesin.

     "Maaf. Kebangun, ya?" Tangan Rafa menangkup pipi Adi yang masih ketara hawa mengantuknya.

     "Mau kemana, Raf?"

     "Ke rumah sakit."

     Seketika mata Adi dan Marka terbelalak sempurna. Tersirat wajah panik dari wajah keduanya. "Bang Ehsan kenapa?" tanya Adi khawatir.

      Lagi Rafa mengusap kepala adiknya pelan. "Abang Ehsan panasnya belum juga turun. Lebih panas dari pas waktu makan malam. Jadi abang mau bawa ke rumah sakit."

      "Berdua?" tanya Marka.

      Rafa mengangguk. "Abang tunggu di rumah aja bareng Nanda."

     "Adi mau ikut."

     "Abang gak akan lama."

     "Besok Sabtu, libur. Adi mau ikut!"

     Tanpa mendengar balasan abangnya. Adi segera pergi menuju kamarnya untuk mengambil jaket. Marka menghembuskan nafasnya pelan. "Gapapa, bawa aja."

Dear Mahanta || 7 Dream [DONE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang