"Udah, aku capekkk." Hembusan nafas yang terengah-engah itu membuat si anak tertua terkekeh pelan.
"Hari ini pun keren banget," ucap anak sulung sembari mengulurkan tangannya. Berniat membantu adik kecilnya yang baru saja merebahkan tubuhnya di lapangan. Seusai latihan cukup keras selama 2 jam yang lalu. Tentu dengan pola istirahat yang tidak memberatkan.
Kulit putih yang tersorot sinar matahari itu sudah benar-benar memerah. Telapak tangan yang semula bersih itu kini sudah cukup kotor. "Tapi Caraka ngerasa masih ada yang salah."
Marka mendengus. "Udah hebat, kok. Caraka masih ngerasa kurang karena Caraka yang gugup dan ngerasa belum puas."
Caraka menggeleng pelan. "Enggak, Bang. Tadi beneran ngerasa ada yang kurang."
"Ya, udah besok lanjut lagi." Putus Marka kemudian.
Mendapat anggukan setuju dari adiknya, Marka mulai berjalan sembari merangkul Caraka.
Sore yang sangat sejuk. Angin yang berhembus dengan halus itu membuat hawa panas pada tubuhnya mulai berangsur menghilang. Caraka tersenyum pada setiap jalan yang ia tapaki. Mensyukuri betapa beruntungnya ia memiliki seorang abang yang bisa mendukung hal yang sangat ia sukai ini; basket.
"Makasih karena beberapa hari ini bener-bener ngeluangin waktu buat latih Caraka."
Marka tersenyum kecil. Tangannya mengusak kepala Caraka. "Sama-sama."
Cengiran manis Caraka selalu berhasil meluruhkan penatnya. Bagaimana tidak? Ia bekerja dari pagi sampai sore lalu lanjut meluangkan waktu untuk melatih Caraka yang akan mengikuti kompetisi. Malamnya terkadang ia meluangkan waktu untuk membantu adik-adiknya yang lain mengerjakan tugas.
Marka akan selalu berterimakasih pada Tuhan yang memberikannya fisik yang kuat. Energi yang banyak, sehingga ia bisa melakukan semua aktivitasnya dengan baik.
Dua hari ke depan adalah dua hari terakhir ia akan melatih Caraka. Cukup lega karena akhirnya ia bisa istirahat dengan baik selepas pulang kerja.
"ABANGG!!!"
Suara teriakan yang berasal dari dalam rumah itu berhasil memberhentikan langkah Marka dan Caraka yang sudah berada di depan gerbang rumah. "Kenapa lagi, tuh bocah?" Kalimat retorik bersambung dengan helaan nafas lelah itu berhasil membuat Caraka tertawa.
Benar saja tak lama dari ucapan itu terlihat Adi berlari dari dalam rumah menuju ke arahnya. Lantas bersembunyi di balik tubuh besar si sulung. Di barengi dengan itu, Nanda datang juga dari dalam rumah dengan tangan yang memegang sapu. Sudah terlihat seperti ibu-ibu yang akan memukul anaknya.
"Ampun, Bang. Adi beneran gak sengaja," ucapnya dengan nada yang jika di biarkan lebih lama, sudah pasti akan berubah menyedihkan.
Marka menghembuskan nafasnya berat. Sungguh, sudah lelah sekali tubuhnya ini. "Kenapa?"
Mata Nanda kembali menyalak tajam melihat Adi. "Adi tadi ngambil telur dari kul—"
"—Na, cuma telur," potong Marka cepat. Merasa heran, karena adiknya mempermasalahkan sesuatu yang sepele seperti itu.
"Masalahnya Adi ngambil sama tempatnya. Alhasil semuanya malah jatoh, Abang! Mana, gak mau beresin. Lantai dapur jadi anyir." Nanda menyentak kakinya kesal, kala teringat kembali ia yang sudah memperingati Adi untuk tidak bertingkah. Tapi Adi tidak menurut.
Mendengar itu Marka membalikkan tubuhnya. Menatap pada Adi yang sedang menundukkan kepalanya. "Kalau udah buat salah, harus tanggungjawab. Jangan mentang-mentang Abang Na yang suka beresin rumah jadi Abang Na yang harus beresin," ujar Marka dengan pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Mahanta || 7 Dream [DONE]
FanficWARNING!! NOT B×B AREA!! Cerita dengan konflik-konflik klise di dalamnya. Ini pure terinspirasi sama rasa kekeluargaan anak-anak Dream dengan bagaimana takdir bermain bersama mereka. "Kenapa topik ini lagi, sih, Ba?" - Marka "Cinta...